BAB 18 Ⅱ Jaka

3.2K 591 11
                                    

JAKA
Beberapa langkah sekali aku mengecek ponselku. Melihat pesan paling baru yang kukirim sekitar lima belas menit lalu. Ia sudah membacanya, tapi tak kunjung terlihat ada sebuah balasan. Mungkin memang benar-benar ingin menjaga jaraknya hanya karena menurutnya, aku harus melupakan Icha.

Padahal, bukan begitu cara yang paling baik. Dengan kepergiannya, bukan berarti aku akan dengan mudah melupakan Icha. Justru dengan sikapnya, semua akan berjalan sebaliknya. Icha akan tetap kembali, atau, jika bukan Icha, mungkin yang lain. Artha.

"Kampung Melayu! Kampung Melayu!" Seorang penjaga pintu bus arah Kampung Melayu itu keluar sambil memperlihatkan papan kecil yang ada di tangannya. Yah, sudahlah. Kupikir tidak perlu kutunggu lagi. Artha tak akan tiba jua.

Aku melangkah masuk, mencari kursi kosong, dan mulai menyibukkan diriku dengan ponsel. Gadis itu masih belum membalas. Dan ketika tiba di kelas, aku melihatnya.

Sebelum menempati kursiku, aku menghampiri Artha terlebih dahulu, dan duduk di kursi depan meja Artha, "Kok LINE gue enggak lo bales?" tanyaku to the point. Artha mengangkat kepalanya beberapa saat dari ponselnya. Tapi tetap tidak ada jawaban. Ia hanya diam memandangiku, kemudian beralih lagi. "Gue nungguin lo tadi." Aku berkilah.

Artha tetap acuh tak acuh; tetap sibuk dengan ponselnya. "Jadi? Lo serius yang kemarin sore?" tanyaku. Artha tetap tak berkutik. Aku berdesah, "Oke, Ar. Whatever you want."

Aku beranjak, menempati kursiku, dan berusaha melupakan apa yang barusan kukatakan pada Artha. Namun tetap saja, aku memikirkannya. Aku masih memikirkan Artha dan Ritha, adiknya. Kunjungan ke makam Ritha beberapa hari lalu membuat segenap memori yang hampir pudar dua tahun lalu itu, kembali.

Dddrrrttt.

Aku melirik pesan pop-up di layar ponselku. Hanya sebuah pesan singkat dari Artha.

Artha Risabilla : Stay away.

Lantas aku menoleh ke arahnya. Mendapati Artha yang tengah memandangiku lekat. Matanya tampak sedikit berkaca jika kuperhatikan. Sebuah mata yang tak bisa berbohong, yang menunjukkan bahwa Artha sedang memiliki sebuah masalah.

Aku hanya menyunggingkan senyum tipis ke arahnya tanpa berkata apapun. Sejurus kemudian, pandangan Artha sudah kembali ke ponselnya, dan sudah sibuk mengetik. Dan tak lama setelahnya, ada lagi beberapa notifikasi masuk dari Artha.

Artha Risabilla : Don't smile at me.

Artha Risabilla : I don't want to see it.

Fokusku beralih ke ponsel sejenak. Sambil melirik-lirik ke arah Artha, aku mengetikkan pesan balasan.

Jaka Almi S. : Lo kenapa, Ar?

Dan ... pesanku berakhir hanya dibaca. Lagi. Ketika aku berpaling ke arahnya, gadis itu malah membaringkan kepalanya di atas meja. Aku mengirimkan pesan bertubi-tubi kepadanya, dan melihat reaksi Artha ketika membacanya.

Jaka Almi S. : Ar

Jaka Almi S. : Anything wrong?

Artha masih membaringkan kepalanya meski mengirimkan pesan balasan kepadaku. Hanya satu pesan. Pesan yang tidak kumengerti maksudnya.

Artha Risabilla : Yes. Everything is wrong. Please jak, g perlu dkt2 gue skrg. Gue butuh waktu berpikir.

+ + +

"Ar, please," aku tak begitu memedulikan dua insan yang tengah bercakap-cakap di depan gerbang sekolah, dan memandangku begitu aku berlalu di depannya. "kasih gue kesempatan." Tapi Artha masih menunjukkan paras datarnya kepada laki-laki di hadapannya.

Aku tetap melangkah. Well, beberapa hari terakhir ini aku selalu melihat Gheo di sekolah. Bukan untuk menjemput Naya seperti sore-sore lainnya, tapi ia selalu menjemput Artha sekarang. Sekarang aku tahu alasan gadis ini tak pernah pergi dan pulang sekolah bersamaku lagi.

Mungkin, itu juga alasan 'lain' bagi Artha. Entah ada hubungan apa yang kini mengikat Artha dan Gheo, tapi yang pasti, aku yakin seratus persen, bahwa mereka bukanlah sekadar kakak dan adik kelas. Ada sesuatu yang lebih.

Kemudian, seperti ada yang hilang.

"Eh, Jaka, kan?" aku menoleh kala suaranya terdengar. Aku tidak begitu yakin kalau aku mengenalnya, tapi aku pernah melihatnya. Senyumnya mengembang begitu ramah. Sejurus kemudian, ia mengulurkan tangan kanannya, "Anton."

Aku tersenyum tipis sambil menjabat tangannya. "Anton...," aku masih berusaha mengingatnya. Sekilas kupindai seragam batik yang dikenakannya. Tidak begitu familier di mataku, tapi aku yakin aku pasti pernah melihatnya. Setidaknya sekali atau dua. Aku tidak ingat pernah mengenal seseorang dengan nama Anton.

"Sebentar, deh," ucapku sambil turut melepaskan tautan tangan kami. Anton hanya menaikkan alisnya, seolah-olah ia menunggu kelanjutan kalimatku. Atau, ia memang paham kalau aku sudah melupakannya.

Anton tersenyum lagi, "Temennya Billa yang waktu itu news reading. Gue inget lo banget. Yang ngasih mawar ke Billa, kan?" tegasnya. Ah, dia. Orang yang menarik Icha pada hari itu. Aku hanya tersenyum canggung menanggapinya. "By the way, setelah dua tahun yang lalu itu, lo udah ketemu Billa lagi? Sorry, ya, waktu itu gue langsung narik dia pergi."

Menemui Icha, ya? Pertemuan keempatku dengan Icha benar-benar mengenaskan, kupikir. Menyesakkan. Menyebalkan. Sungguh sebuah penyesalan besar telah mengetahuinya. Aku mengangguk pelan, "Udah, beberapa hari lalu gue ke rumahnya."

Anton dan aku berbincang-bincang sepanjang perjalanan pulang yang kebetulan searah. Ia banyak bercerita tentang Icha. Tentang kesibukan Icha semasa SMP, kegiatan harian Icha, segala tentang Icha yang Anton ketahui.

Sementara aku hanya menjadi pendengar setia yang merasa semakin kagum setiap kali satu kata keluar dari mulut laki-laki ini.

"By the way, Billa titip sesuatu sama gue, katanya kalau gue bakal ketemu sama lo lagi di kompetisi di SMA, dia mau gue bilang ke lo, kalau—"

"Persiapan halte Pasar Jatinegara!" Lantangnya ucapan kernet tersebut langsung menyita perhatian seisi bus, termasuk Anton dan aku. Ucapannya terinterupsi begitu saja, dan setelah pintu terbuka, Anton langsung pamit pergi padaku tanpa menuntaskan ucapannya.

Dan aku hanya memandangi Anton yang berlari keluar dari bus. Ia meninggalkan pertanyaan besar yang tak akan terjawab.

Semakin jauh bus melaju, semakin tak terlihat laki-laki itu. Semakin membuatku mencoba mengalihkan perhatianku, hendak melupakan obrolan dengan Anton barusan.

Sial.

Semakin aku ingin melupakan Icha, semakin banyak orang yang mengingatkanku akan Icha. Tapi tidak sepenuhnya aku berpikir kalau semua usahaku untuk melupakannya akan gagal total. Justru, kupikir, aku sudah melupakan Icha meski belum sepenuhnya.

Jika dipersilakan berkata jujur pun, aku akan bilang,bahwa aku sudah jatuh ke lain hati.

- - - -

halo! ini early update, ya? ehe. tau gak kenapa? karena cerita jakarta udah mau ending, wkwk. btw, kansa lupa juga kapan terakhir nulis author note di cerita ini. dan kali ini kansa mau nulis aja. wkwk. idk, i just feel like i have nothing to publish, but this work is going to its end soon. kansa masih nulis cerita yang 'how to heal a heart and break it again', dan sebenarnya belum berani publish bab satunya. cuma, karena ini udah mau habis, kayaknya kansa bakalan coba update itu secepatnya, deh. wkwk.

ada yang udah cek? wkwk. cek kuy. *ini promosi* jujur sih, ceritanya ya gitu gitu aja, masa-masa SMA/K, temen sekelas, OSIS, suka-sukaan. wkwk. yaudahlah ya, it's your rights too whether you want to read it or not, ehe c:

oiya, setelah ini ada pov artha yang terakhir. hahaha. ketebak gak endingnya di bab berapa? wkwk

btw, kan kansa jadi bawel, padahal belum bab terakhir wkwk. udah ah, yang baca bosan nanti.

[TJS 1.0] JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang