JAKA
"Karena gue udah janji sama Bunda lo buat nemenin lo, itu berarti gue harus nepatin janjinya, Ar," ucapku sambil mengikuti Artha berjalan keluar dari halte Flyover Raya Bogor. Artha menggeleng untuk yang kesekian kalinya. "Pokoknya, gue tetep harus nganterin lo pulang." Aku menutup novelku, kemudian merebut kopor dari tangannya.Artha menatapku datar, "Jak, please lah, jangan bikin gue makin bete hari ini. Lo belum puas bikin gue kalah dari lo?"
"Kemenangan yang gue dapetin itu bukan kemauan gue, Ar. Tapi apapun yang gue dapet, gue harus bersyukur," ucapku enteng sambil berjalan mendahului Artha, sekaligus juga memimpin langkahnya menuju ke rumahku yang terletak tidak jauh dari halte.
Setibanya di rumah, aku langsung menaruh ransel, mengambil kunci motor, lalu pamit lagi kepada orang rumah untuk pergi sebentar. "Ayo naik," pintaku sambil memakai helm. Tapi Artha masih bergeming. Gadis itu hanya memandangiku tanpa ada niat naik ke motor. "Ar, cepetan."
Artha berdesah berat. Setelah beberapa saat berdebat denganku, ia yang akhirnya mengalah karena ponselnya berdering, dan kelihatannya menandakan telepon masuk dari Bundanya, lagi.
Artha tidak bicara apapun sepanjang perjalanan kecuali ketika aku bertanya di mana letak rumahnya. Selain itu, ia tidak merespons ucapanku sama sekali. Mungkin Artha masih marah padaku soal kekalahannya tadi pagi. Atau Artha mungkin masih terpikir tentang masalah pribadinya dengan Gheo.
+ + +
LDKS usai hari Sabtu, dan dua hari setelahnya, aku sudah mendapatkan tugas untuk menjadi ketua panitia dalam kegiatan lomba dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Dalam dua hari kedepan, aku sudah harus siap bersama beberapa panitia lainnya.
"Jaka udah ngerti gimana bikin rundown acaranya?" tanya Naya begitu ia membuka pintu ruang OSIS. Aku menoleh ke arahnya, dan hanya mengangguk. "Kalau ada yang lo enggak ngerti, tanyain aja. Nanti dibantuin. Terus kalau ngerjain sendiri enggak sanggup, bilang sama panitia lainnya buat bantu."
Aku mengangguk lagi. "Iya, Kak. Ini juga udah dibantuin Artha kok," ucapku sambil melirik Artha yang duduk di sebelah kiri ruangan bersama dengan laptopnya. Melihat Naya mengangguk-angguk mengerti, aku langsung mengangkat laptopku, dan berjalan mendekat ke Artha. "Ar, menurut lo, mendingan balap karung dulu atau tarik tambang?"
"Balap karung lah. Tarik tambang itu biasanya rame, jadi terakhir aja," sahutnya acuh tak acuh. Aku memperlihatkan layar laptopku, menunjukkan susunan acara di dalam proposal yang sudah kurancang sejak semalam. Setelah menelitinya, Artha baru bicara lagi, "Itu lomba larinya pertama aja."
Aku berpikir sejenak sambil memandangi posisi tarik tambang dan lomba lari sebelum menukarnya-lomba lari di urutan pertama, dan tarik tambang di urutan terakhir. "Udah?" tanyaku. Artha hanya mengangguk. Aku beranjak dari posisi dudukku, segera menyetak beberapa lembar susunan proposal yang telah kubuat sendiri.
"Lo jilid ini bisa, enggak?" tanyaku setelah menyatukan beberapa lembar kertas dengan penjepit kertas. "Habis dijilid, besok ke ruangannya pak Arya buat minta persetujuan."
Menyadari Artha hanya memandangku dengan datar, aku turut diam, menghentikan sejenak kegiatanku merapikan kertas dan mematikan printer. "Sama gue, Ar," koreksiku. "Temenin gue ke ruangannya pak Arya besok pagi."
Artha masih memandangku sedatar tadi, tanpa komentar yang menjelaskan ia menerima perintahku, atau justru menolaknya.
"Nah, bener tuh. Lo temenin Jaka ke ruangannya pak Arya besok, Ar. Biar lo tau juga gimana kerjaannya si Jaka. Jadi, kalau besok-besok Jaka lagi enggak ada, lo udah bisa ngegantiin," ucap Naya sambil merapikan etalase ATK di sudut ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TJS 1.0] Jakarta
Teen Fiction[The Jakarta Series 1.0] ARTHA: Satu tujuanku setelah masuk ke Organisasi Siswa Intra Sekolah: menjadi seorang Ketua OSIS. Aku harus memenangkan persaingan, seandainya aku terpilih menjadi kandidat Ketua OSIS nanti. Aku harus membuat Gheo melihatku...