JAKA
Di waktu bebas selama dua jam selepas apel penutupan LDKS, kulihat semuanya asyik bermain-main, entah bermain bola, mengobrol, asyik dengan ponsel, atau apapun. Terkecuali gadis itu. Artha masih murung setelah mendengar pengumuman saat apel tadi.Mungkin aku tahu rasanya berat bagi Artha. Aku tahu ia sungguh tergila-gila dengan predikat ketua OSIS. Artha sudah melakukan yang terbaik ketika orasi, dan Artha sudah berjuang banyak. Tapi di hari penentuan, ia justru tidak mendapatkan apa yang diidam-idamkannya.
Tapi, bukan hanya Artha yang murung, mungkin. Aku juga. Jika boleh, aku pasti sudah meminta bertukar posisi dengan Artha, membiarkan ia yang mendapatkan predikat ketua OSIS. Hanya saja, sangat disayangkan, itu mustahil.
Jadi, sekarang aku mesti menjalankan tugasku sebagai seorang ketua OSIS. Aku harus menerimanya, belajar menyukainya.
"Ar," aku menghampiri Artha yang berdiri di jembatan yang melintasi sungai kecil di bawahnya. Gadis itu tak menyahut; matanya tetap terarah ke air yang mengalir cukup deras, menghantam bebatuan yang tersebar tak berarturan di bawah sana. "Ar, lo enggak kalah kok."
Artha hanya bergumam tanpa memalingkan pandangannya. Matanya berkaca-kaca, mungkin sudah dari tadi, tapi tak kunjung meneteskan air mata. "Selisih vote yang lo dapet sama gue itu cuma satu suara, Ar."
"Sekecil apapun selisihnya, gue tetep kalah dari lo, Jak," ucapnya lirih, lesu, sedu. "Gue enggak dapetin apa yang gue mau, dan ... ya udah, gue enggak bisa apa-apa lagi."
Aku menunjukkan seulas senyum kepadanya, "Kalau lo enggak jadi ketua OSIS, bukan berarti segalanya berakhir, Ar. Lo masih bisa berjuang buat yang lainnya."
Artha tersenyum sedikit miring, "Pikirin aja diri lo sendiri. Lo enggak tau apa-apa soal gue, jadi enggak usah sok perhatian," katanya ketus, kemudian beranjak pergi. Ia berjalan cepat, kembali ke pendopo, dan tampaknya langsung memainkan ponselnya di sana.
"Jaka! Sini gabung!" Gheo melambaikan tangannya ke arahku, membuatku melihat sembilan anak laki-laki yang sudah bergerumul mengelilingi satu bola. "Kurang satu nih!" Ujarnya keras-keras. Aku hanya mengacungkan ibu jariku, kemudian berlari menghampirinya.
Setelah membagi kelompok jadi dua, kami mulai bermain. Gheo, Pandu, dan Affan menjadi bagian timku, ditambah satu orang alumnus OSIS dari angkatan Gheo yang tidak kukenal. Sepanjang permainan, entah kenapa, konsentrasiku benar-benar buyar. Rasa-rasanya, pandanganku tak sanggup kualihkan dari Artha yang duduk di pendopo dengan lutut tertekuk. Aku tak pernah menyangka Artha akan sesedih ini.
"Woooo! Kak Ghe!" Dua tangan yang terangkat serta suara nyaring dari Naya tampaknya jauh lebih menyita perhatian daripada Gheo yang baru saja menendang bola hingga jebol ke gawang. Gheo melontar senyum begitu lebar ke Naya, pun dengan gadis berpredikat mantan ketua OSIS tersebut.
Aku tahu, memang ada sesuatu di antara Gheo dan Naya. Meskipun selalu ditekankan peraturan untuk tidak menjalin hubungan khusus dengan sesama anggota OSIS, namun tetap saja, terkadang orang akan bersikeras mengabaikan peraturan.
Lagi pula, kupikir Gheo dan Naya benar-benar cocok. Dari segi penampilan maupun sikap mereka, keduanya benar-benar pantas jika bersanding.
+ + +
"Bil, sebentar!" Gheo berlari mengejar Artha yang berjalan mencak-mencak sambil menarik kopor kecil di tangan kanannya. "Bil!" Teriaknya lagi.
Seharusnya drama ini menyita perhatian banyak orang, tapi, untungnya tidak. Karena hanya ada Gheo, Artha, Rendi, dan aku yang tersisa di sini. Seluruh anggota OSIS angkatanku sudah hampir bubar pulang, dan seluruh OSIS angkatan Naya sudah pergi sejak setengah jam yang lalu-entah ke mana.
Artha berhenti melangkah, ia berbalik memandang Gheo, lalu tersenyum, getir. Aku menghela napas berat. Drama gratisan. Tapi, daripada aku terus menyaksikan dua insan yang tampak ribut ini, lebih baik aku segera beranjak secepatnya. Soal mengajak Artha pulang bersama, biarkan saja ia, kuyakin Artha juga akan segera pulang, sehingga kami bisa bertemu di halte.
Namun, samar-samar, kudengar Gheo bicara lagi, "Maaf, Bil, tapi ini emang udah sesuai perjanjian antara lo sama gue, dan lo setuju. Jadi, lo juga harus tepatin, dan harus terima resikonya."
Semakin aku berjalan lebih jauh, semakin suaranya mereda, dan tidak terdengar lagi. Dan benar apa kataku, Artha tiba di halte sebelum aku menemukan bus ke arah kampung Melayu. Wajahnya sudah kusut betul, bibirnya membuat sudut masam, dan matanya berlinang air mata-yang kemudian lekas Artha hapus ketika kami sama-sama menoleh dan berpapasan.
Artha bersandar ke kaca di sebelah pintu, kemudian menghela napasnya. Tampaknya tengah pilu sekali. Entah karena masalah pribadi yang dimilikinya dengan Gheo, entah karena kekalahannya dalam pemungutan suara. Atau, keduanya.
Melihat ada bus TransJakarta yang datang, aku langsung beranjak dari tempatku berdiri, lalu berjalan ke arah pintu di sebelah Artha. Dengan sinisnya, gadis itu memandang ke arahku, dan bertanya, "Ngapain lo di sini?!"
Aku balas memandangnya beberapa saat, lalu kutunjuk ke arah bus yang hampir tiba, "Gue mau pulang, dan itu busnya udah dateng. Kenapa? Emangnya lo enggak mau pulang juga?"
Artha berbalik, dan melihat kalau busnya benar-benar sudah datang. "Maksud gue, ngapain di pintu yang sama kayak gue? Enggak tau apa kalau gue males ngeliat lo."
Seulas senyum kutunjukan kepadanya, dan aku mengedikkan bahu, "Setahu gue ya, bagian depan itu ada tulisan khusus wanita, Ar. Masa gue masuk lewat depan, sih." Lalu Artha hanya diam memandangku, sambil sama-sama melangkah masuk ke dalam bus.
Aku cepat menggapai pegangan bus yang kosong, sementara Artha ... ah, tampaknya ia lebih memilih untuk bersandar ke pintu sebelah kiri. Artha juga jelas-jelas berdiri di atas kotak kuning bertuliskan 'Dilarang Berdiri'. Yah, biarkan.
Artha dan aku tak berbicara sama sekali. Ia sibuk dengan ponselnya, sementara aku membaca sebuah novel Percy Jackson and The Lightning Thief yang ada di tangan kiriku. Sesekali aku melirik ke depan, melihat gadis yang tampak goyah setiap kali bus melaju dan berhenti mendadak. Jujur, aku cukup penasaran tentang apa yang terjadi tadi sore ketika Artha dan Gheo tampak berkelahi. Tapi, kupikir aku tidak memiliki hak untuk bertanya, dan mengetahui masalah mereka yang mungkin privasi.
"Persiapan Halte Tegalan...." Kernet di depan itu berteriak, lalu disusul dengan terbukanya pintu bus, membuat beberapa penumpang keluar. Dan untungnya, tidak ada yang masuk. Kuabaikan keadaan sekitarku. Aku fokus ke novel yang kubaca, benar-benar fokus, sebelum gadis dengan kuncir kuda yang tadi bersandar di pintu itu berdiri sedikit lebih dekat di depanku.
Aku menaikkan kacamataku, lalu memandang ke arahnya tanpa berkata apapun. Matanya masih tampak berkaca, wajahnya kelihatan begitu lelah. Ditambah dengan bibirnya yang terkerucut dengan begitu pahit. Kemudian Artha bertanya, "Kalau gue ngundurin diri dari jabatan ini, gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[TJS 1.0] Jakarta
Teen Fiction[The Jakarta Series 1.0] ARTHA: Satu tujuanku setelah masuk ke Organisasi Siswa Intra Sekolah: menjadi seorang Ketua OSIS. Aku harus memenangkan persaingan, seandainya aku terpilih menjadi kandidat Ketua OSIS nanti. Aku harus membuat Gheo melihatku...