BAB 10 Ⅱ Jaka

4.1K 640 23
                                    

JAKA
"Upacara selesai. Laporan selesai." Ucapku dengan begitu angkuhnya di hadapan pak Arya selaku pembina upacara.

Pak Arya memajukan tubuhnya sedikit, kemudian menyahut, "Bubarkan."

"Siap, bubarkan." Aku mundur tiga langkah, dan menunggu Dhea membacakan poin selanjutnya. Aku menarik napas panjang setelah ia menyebutkannya. Kemudian, dengan lantang, aku memberikan aba-aba, "Kepada, pembina upacara, hormaaaaat ... grak!"

Tidak lebih dari lima detik, pak Arya sudah menurunkan tangannya yang berhormat, sehingga aku kembali memberikan aba-aba untuk kembali tegak. "Pembina upacara diperkenankan meninggalkan lapangan upacara," ucap Dhea dengan lembut.

Tepuk tangan riuh langsung mendominasi dari tiap-tiap barisan. Pak Arya pun turun dari podium, dan menyalamiku sambil memberikan sepatah ucapan selamat. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Well, aku tidak menyukai aksi pak Arya yang mengundang perhatian seluruh siswa, dan cenderung memancing para siswa untuk bersorak lebih keras dari sebelumnya.

Bukan. Mereka tidak bersorak karena upacara yang kupimpin ini berhasil selesai dengan sempurna, tapi mereka bersorak akan ketidaksukaannya terhadapku. Entah mereka iri karena upacara ini berakhir sempurna, atau mereka tidak suka karena upacara yang dimulai pada pukul delapan ini baru usai pada pukul sembilan lebih lima belas.

"Pemimpin dan petugas upacara meninggalkan lapangan upacara," mendengar Dhea dengan jelas membuatku langsung hadap kanan, dan serentak melangkah bersama para pemimpin kelompok, kembali ke barisan pasukan pengibar bendera.

Setelah disebutkan beberapa pengumuman tentang pemenang lomba kemarin, barisan dibubarkan, dan kami-para petugas upacara-turut bubar dari barisan untuk berfoto bersama.

"Thanks ya. Kalian hebat kok," ucap Naya sambil menunjukkan senyumnya. Sejurus kemudian, ia menepuk bahuku, "lo juga. By the way, sorry buat yang kemarin, Jak. I was really losing control."

Aku menyungging senyum, "Enggak apa-apa, kak. Gue paham." Jawabku. Naya hanya membalas dengan senyumnya yang semakin lebar.

Setelah berfoto terlalu banyak-terlebih mereka yang hobi selfie, kami berganti pakaian, dan segera bersiap pulang. Pun dengan aku dan Artha. Namun, sekonyong-konyong, begitu kami hendak melangkah keluar dari gerbang sekolah, pak Arya keluar dari ruangannya, dan meneriaki, "Jaka, Artha!" Sehingga Artha dan aku serentak berbalik, dan menghampiri pak Arya.

"Ini, saya baru dapat kabar soal kompetisi debat bahasa Indonesia dan esai bahasa Inggris. Mendadak banget sih, tapi saya pikir enggak apa-apa," kata pak Arya sambil memandang ke selembar kertas di tangannya. "saya sengaja ambil anak-anak OSIS aja buat mewakili, dan kalian berdua, sama Affan yang ikut kompetisi bahasa Inggrisnya. Jadi, nanti jam dua belas kalian ikut technical meeting di SMA Bima, dan lombanya ini hari Jum'at."

Jum'at?

"Jum'at besok, Pak?" pak Arya mengangguk; menanggapi pertanyaan Artha. Aku dan Artha bersitatap dengan mulut terbuka lebar. Gila!

"Sekarang kan masih jam setengah sebelas nih. Nanti kalian berangkatnya jam sebelas aja, diantar ke SMA Bima, mumpung deket kok, cuma ke Pramuka sini," ucap pak Arya. "Kalian udah makan belum? Mau makan dulu? Sekalian ajak Affan sini sebelum berangkat. Takutnya nanti lama acaranya."

Aku tersenyum tipis, "Udah kok, Pak. Tadi sama anak-anak OSIS," ucapku. Artha ikut tersenyum. "Ya udah, sekarang saya sama Artha cari Affan dulu deh, Pak." Akhir kata, aku pamit, dan langsung menarik Artha pergi dari hadapan pak Arya sambil menggerutu panjang.

Artha geleng-geleng kepala sambil berjalan mencak-mencak, "Ih, gila banget enggak sih, lomba lusa, baru dikabarin! Mana techmeet baru hari ini!" Artha mengacak-acak rambutnya frustrasi. Namun, ucapan-ucapan pedasnya itu seketika berhenti ketika kami sama-sama melangkah hendak menyeberangi lapangan.

[TJS 1.0] JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang