BAB 14 Ⅱ Jaka

3.9K 625 27
                                    

JAKA
"Hati-hati ya, Ar," aku tersenyum ketika Artha hendak melangkah pergi. Gadis itu hanya mengangguk, kemudian benar-benar berbalik, dan pergi. Sementara aku masih terdiam, memandanginya melangkah semakin jauh, jauh, dan hilang kemudian. Aku menghela napas dengan berat. Aku turut pergi meninggalkan halte Flyover Raya Bogor.

Tapi, seiring perginya aku dari lokasi, orang yang sejak tadi pagi kupikirkan, tak kunjung pergi. Aku merindukannya. Icha. Satu-satunya gadis yang pernah aku sukai, dan mungkin ... masih. Aku masih menyukai Icha sampai saat ini.

Mungkin, Icha adalah satu-satunya alasan kenapa aku begitu menjaga jarakku agar tetap dekat dengan Artha. Sebutlah aku gagal move on, karena memang nyatanya begitu.

Begitu tiba di rumah, aku langsung melemparkan tasku yang kosong ke atas ranjang, dan perhatianku langsung beralih ke lemari pakaian di sudut ruangan. Aku mencari kunci dari salah satu laci yang tidak pernah kusentuh sejak sekitar dua tahun lalu.

Ada beberapa barang yang harganya tak seberapa, namun begitu bernilai-untukku. Di tumpukan paling atas ada sebuah pigura dengan bingkai berwarna biru muda. Secara otomat, senyumku mengembang kala melihatnya lagi. Betapa aku merindukan masa-masa tersebut.

Sekarang, jika aku melihat potret Icha, bayanganku buyar. Semuanya sudah terganti dengan gadis berpredikat wakil ketua OSIS yang kini menjabat bersamaku. Mereka berdua mirip. Jika bisa kubilang, Artha benar-benar terlihat seperti Icha.

Perbedaannya, hanya tentang perasaan.

+ + +

"Sorry, ya, gue mesti nyusahin lo," selepas menyimpul rapi tali sepatunya, Artha langsung berjalan menghampiri aku yang kira-kira sudah menunggu selama sepuluh menit di depan rumahnya. Aku hanya mengedikkan bahu, dan menunjuk ke belakang punggungku dengan dagu. Di detik yang sama, Artha langsung naik ke motorku dengan hati-hati.

Dulu, aku selalu berandai-andai kalau hubungan Icha denganku akan sampai ke tahap ini meski ini masih terbilang cukup rendah, dan biasa. Namun sayangnya, semuanya tidak terjadi sesuai angan-anganku. Di hari itu, Icha mentah-mentah menolakku, dan pergi begitu saja tanpa adanya sebuah kabar.

"Ini jalannya ke mana, Ar?" tanyaku sambil melajukan motorku dalam kecepatan rendah.

"Taman Mahoni, Jak. Ikutin jalan aja deh, nanti kalau udah keluar dari jalan ini ke kanan," jelasnya singkat. Aku tak menyahut lagi. Aku memokuskan diriku ke jalan yang cukup padat. Entahlah, mungkin memang jalan ini bisa menjadi tembusan-meski tetap saja macet, atau memang karena ini adalah hari Sabtu. "Jak, anak-anak udah rame nih kata Dhea. Yang belum dateng cuma lo, gue, sama Affan."

Artha dan aku tidak berbincang terlalu banyak sepanjang perjalanan. Lagi pula, tidak sempat juga untuk berbicara banyak-banyak karena jarak yang cukup dekat. Begitu motorku masuk ke jalan Raya PKP, hanya jalan sedikit hingga aku bisa melihat sebelas huruf tiga dimensi berwarna merah berjajar di sebelah kiriku. Taman Mahoni.

Aku memarkirkan motorku di lahan parkir yang tersedia di depan. Kami berjalan seiringan sambil menoleh ke kanan dan kiri, mencari-cari anak-anak OSIS yang lainnya.

"Dulu, adik gue suka ke sini. Dan terakhir kalinya gue ke sini adalah ketika terakhir kali gue sama adik gue ke sini. Sekitar dua tahun yang lalu, waktu dia minta gue nganterin dia ke sini," Artha tahu-tahu memulakan cerita. Membuatku menoleh ke arahnya yang mengedarkan pandangannya ke mana-mana. "Sekarang gue udah enggak pernah lewat ataupun ke sini."

"Oh, jadi ... lo punya adik?" aku berbasa-basi. Lagi pula aku memang tidak pernah mendengar kabar bahwa Artha memiliki seorang adik. Artha hanya mengangguk, dan sejurus kemudian, gadis itu langsung berlari ke arah kursi panjang yang berada di dekat lapangan, di mana terlihat banyak teman-temanku berkumpul seraya bersenda gurau.

[TJS 1.0] JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang