Chapter 12

792 69 0
                                    

#Now Reading
UNTOUCHED - The Bet by Redvanillaid

×××

Suara decitan sepatu menggema di sepanjang koridor yang sudah mulai nampak sepi mengingat bel masuk sudah berdering beberapa saat yang lalu.

Sial.

Itulah umpatan yang selalu Prilly keluarkan dari mulutnya. Hari ini ia harus menerima kenyataan bahwa ia terlambat datang ke sekolah, dengan sebuah alasan klise; telat bangun.

Nafasnya terengah-engah karena setelah melenggos dari meja piket di depan kantor sekolah, ia berlari tanpa henti menyusuri koridor yang terasa panjang rasanya, menuju kelasnya.

Hari ini benar-benar hari ter-sial bagi Prilly.

Kedua kakinya terus berlari sekuat mungkin, ia tak ingin mengambil resiko yang lebih parah dengan hanya berjalan bak model di catwalk setelah namanya tercatat dalam buku 'keterlambatan siswa SMA Garvan' baru saja.

Tanpa memperdulikan apapun, ia terus berlari melintasi koridor, kali ini ia sengaja menundukkan wajahnya—malu kepada murid-murid (yang ia tak tau kelas berapa) yang sedang olahraga di lapangan, yang bisa saja mereka melihat wajah Prilly jika ia menghadapkan wajah ke arah kirinya—lapangan sekolah.

Bukan karena apa.. hanya saja, ia merasa; malu.

Karena, percaya atau tidak, ini adalah kali pertama dirinya terlambat berangkat ke sekolah—dari pertama kali ia menginjak kelas sepuluh, tahun lalu. Ah, benar-benar memalukan baginya. Meski pada kenyataannya, perihal 'telat masuk' merupakan hal yang di anggap biasa saja bagi murid-murid Garvan yang lain—termasuk teman-teman sekelasnya, mungkin.

Jika ada yang bertanya, kenapa Prilly bisa bangun kesiangan? Jawabannya adalah; karena subuh tadi ia harus bangun untuk mengecek sekaligus mempelajari materi bahasa inggris yang hari ini akan di presentasi kan oleh kelompoknya—dengan dirinya sebagai ketua kelompok (omong-omong), di depan kelas menggunakan PPT.

Terlalu sibuk berlari sambil tertunduk, sampai-sampai ia tak sengaja menabrak tubuh seseorang—yang sepertinya berjalan di hadapannya. Prilly perlu mendongakkan kepalanya karena yang ia liat hanyalah bagian sekitar leher laki-laki tersebut. Dan, sepersekian detik, ia harus menahan mati-matian agar tidak memekik atau apapun itu karena saking terkejutnya akan sosok di depannya.

Kak Aliandra.

Astaga.. kesialan apa lagi ini?

Entah mengapa saat ini nafasnya terasa tertahan. Dalam posisi sedekat ini, bagaimana bisa dirinya seolah-olah lupa bagaimana cara bernafas?

Suara decakan—yang terkesan dingin di telinga Prilly, akhirnya menyadarkannya akan dunia nyata-nya. Matanya dapat melihat dengan jelas ekspresi datar sekaligus tak nyaman dari lelaki itu.

Pada kurun waktu sepersekian sekon, ia pun reflek menjauh satu langkah ke belakang. Dengan raut wajah rasa bersalah—sekaligus takut (mungkin) gadis dengan sweater berwarna hijau tosca itu memberanikan diri menatap ke dalam mata elang Ali.

Diam-diam, entah kenapa Prilly merasa ada keterkejutan di dalam sana. Yang meski tertutupi oleh ekspresi datar-nya, bagi perempuan yang memiliki kadar kepekaan tinggi seperti Prilly, mudah saja untuk di ketahui.

"Maaf.. Kak," Ucapnya dengan intonasi pelan, penuh sesal.

Setelah itu, tanpa berpikir panjang lagi, Prilly memutuskan untuk melanjutkan acara lari-nya agar cepat sampai ke kelasnya. Dalam hati ia sungguh menyesal karena tadi sudah membuang waktu entah berapa menit terjebak dalam hening bersama Ali.

Heart BreakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang