Chapter 16 (b)

841 73 6
                                    

#Now Reading
Life Line by RAQueenshe

×××

"Udah mau pulang?"

Satu kalimat pertanyaan itu keluar dari mulut Ali saat melihat remaja perempuan yang duduk di hadapannya mulai memasukkan ponsel miliknya ke dalam sling bag.

Jujur saja, ada secuil--tidak, segunung rasa tak rela karena gadis tersebut nampaknya memang akan beranjak dari kafe. Karena sejujurnya Ali sudah mulai nyaman berdekatan dengan Prilly.

Gadis yang mendengar pertanyaan itu kontan mendongak dan memandang kak Ali yang rupanya tengah menatapnya entah sejak kapan. Sepersekian detik, semu merah di pipinya muncul karena malu. Entah benar atau tidak, di pikirannya menyimpulkan bahwa pertanyaan kak Ali barusan yang bernada seperti tak rela kalau Prilly pulang. Baiklah, Prilly tak tau hal itu benar atau tidak, tapi yang jelas semburat semu merah di pipinya menguar begitu saja.

Tanpa sadar, senyum gadis itu menguar. Dan Prilly mengangguk sambil menjawab, "Iya."

Dari tempatnya duduk, Prilly dapat melihat kak Aliandra nampak mengangguk paham lalu melihat ke arah luar kafe yang di batasi kaca. Baru saja Prilly akan bangkit dari duduknya ketika lagi-lagi remaja lelaki itu bersuara,

"Di luar kayaknya mau hujan," Ali menoleh kembali pada Prilly, disertai senyuman khas yang sangat Prilly sukai. Apa Prilly sudah bilang sebelumnya kalau senyum laki-laki itu sungguh menarik baginya?

Entah mengapa kali ini Prilly tidak merasa suasana yang kaku seperti sebelumnya jika berada di dekat Ali. Yang ada hanya rasa nyaman juga senang bisa berdekatan dengan lelaki itu.

Prilly mengangguk, "Makanya gue mau balik. Gue duluan ya, Kak." remaja perempuan itu kemudian bangkit dari posisi duduknya setelah melihat kak Ali mengangguk--padahal sebenarnya Prilly tak berniat untuk pamit pada Aliandra, tetapi entah dapat dorongan darimana ia bisa berkata demikian.

Tak butuh waktu lama bagi Prilly untuk bergegas beranjak dari kafe. Pelanggan yang tak terlalu banyak berlalu lalang membuatnya semakin bisa mempercepat langkahnya. Sebelum dirinya keluar dari pintu kafe, senyum sumringah menguar di bibir tipis miliknya.

.

.

.

Dan tanpa remaja itu sadari, dirinya telah membawa tatapan Aliandra di punggungnya yang sudah menghilang dari balik pintu kafe. Di detik berikutnya, Aliandra kontan tersenyum.

Untuk saat ini, Ali merasa bahwa melihat Prilly adalah suatu  kesenangan tersendiri untuknya. Laki-laki berbulu mata panjang--bagi ukuran cowok--itu menggelengkan kepalanya dan disusul dengan kekehan yang terdengar bahagia. Baiklah, Ali kalah. Gadis yang tadi itu benar-benar memenangkan hatinya sekarang.

***

Pada akhirnya, hujan pun turun. Entah sudah berapa kali Aliandra menghadapi kejadian presipitasi berwujud cairan ini. Belakangan ini Ibukota terasa menjadi lembab dan dingin.

Namun meski begitu, Ali tetap menjalankan sepeda motor yang dinaikinya. Lagipula, sudah terlanjur dirinya terguyur air hujan yang lumayan deras ini. Lebih baik ia segera pulang 'kan. Ia juga tidak terlalu tahan berlama-lama di kafe tadi.

Kecepatan motornya hanya ia jalankan 55 km/jam. Ali tak melajukan dengan kecepatan lebih tinggi karena hujan beserta angin kali ini cukup kuat. Tak apa lama sampainya, yang penting selamat sampai tujuan. Setidaknya itulah yang sering dikatakan oleh umi padanya.

Dari kejauhan, matanya tak sengaja menangkap sosok gadis dengan sweater merah muda tengah berdiri di depan salah satu toko di sisi kanan jalan yang sudah tutup. Aliandra berusaha fokus pada jalanan dan sesekali melihat ke arah gadis bertubuh mungil itu.

Heart BreakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang