Di langit, sedang ada rapat. Rapat menentukan takdir siapa yang memimpin Desa Sindang Sari. Dukun Mardubus mencoba menguping rapat itu, dengan mengutus iblis doyan kemenyan. Iblis pertama dikirimkan dengan menunggang bemo. Bemo itu terbang ke langit dengan kecepatan tidak terhingga, agar tepat waktu sampai di ruang rapat langit ke tujuh. Sayangnya sebuah meteor yang ditembakkan malaikat dari langit menghancurkan bemo itu. Bemo beserta iblisnya menjadi debu kosmik di langit. Mardubus tergagap, dan kemenyan yang ditaburkan pada bara mawa memercik ke mata sang dukun.
"Dancok!" Pekik dukun itu.
"Hmmmm, hong hing hung cret, crit, crut..." Lafal mantra kedua yang dianggap lebih ampuh menghadang serbuan batu langit mahadahyat dibaca. Mardubus kembali mengutus iblis yang berumur lebih dari sejuta tahun. Sebuah bemo kembali disiapkan, terbanglah dengan kecepatan yang sama, dan sebuah batu meteor kembali membidik. Batu pertama bisa dihindari, kedua bisa dihindari, batu ketiga menghantam, dan bummmm....,! benturan keras terjadi di langit.
Apa yang terjadi? Bumi ikut bergoncang. Gempa melanda seluruh permukaan bumi, dengan magnitudo gempa 5 Skala Richter. Iblis tua terpental dari bemo, namun ia segera meraih kembali tunggangannya. Bemo itu oleng ke kiri dan ke kanan, tidak terkendali hingga akhirnya bemo itu jatuh di depan Mardubus.
"Ebleees! Kenapa kau kemari lagi!"
"Maaf saya pikir ini langit ke tujuh Tuan Dukun."
"Asu celeng!, Goblok!"
Dukun menyepahkan ludah ke kiri, Cuuiihh!, api membumbung dari titik ludahnya.
"Ebles tak berguna!, Enyah dari sini!". Sambil berjalan mengangkang, karena kemaluan iblis itu terlalu besar, meninggalkan dukun itu dengan membawa rasa kecewa yang sangat. Dukun kembali komat – kamit merapal sebuah mantra, tapi kalau di dengarkan dengan seksama sepertinya ia sedang menyanyikan lagu dangdut. Mantra apa itu gerangan?
"Bagaimana Mbah siapa yang kira – kira menang dalam Pilkades Sindang Sari nanti?," tanya Samingun seorang petaruh handal dari Desa Mulya Jadi.
"Gelap Ngun. Asu celeng!"
"Kenapa gelap Mbah...?"
"Sekarang kan malam Ngun.."
"Itu saya tahu.."
"Kenapa kau tanya?"
"Saya tanya siapa yang menang Mbah."
Dukun Mardubus masih menghulus keris "naga cabul", ia mengasapinya dengan bau kemenyan, tangannya gemetar, mungkin karena menahan hawa panas dari bara mawa di bawahnya.
"Tunggu cuk! Jangan banyak bacot!, Saya akan menerawang langit ke tujuh."
"Iya Mbah..." Langit ke tujuh? Taik Asu,! batin Samingun. Tapi mengapa aku percaya sama dia? Kecamuk batin dalam rongga dada Samingun.
"Ini iktiar, kau sudah benar bertanya padanya," bisik iblis di telingga kiri Samingun.
"Musrik!" bentak Malaikat di kuping kanan.
Matahari tidak pernah mengingkari pagi, ia bangun tepat waktu, itulah kesetiaan. Burung prenjak hinggap di pohon turi depan rumah Sosro Utomo. Burung – burung itu menyambut matahari, dengan deretan bait - bait puisi naturalis, tentang sanjung puji keindahan pagi di Desa Sindang Sari. Langit Timur merah emas, terbentang luas pada bingkai abadinya. Para petani menuntun sapi pekerja sambil memanggul luku, garu, dan tangan kanannya memegang erat cemeti. Suara menggelegar memecah keheningan pagi, ketika cemeti petani itu dilecutkan pada bokong sapi mereka. Istrinya yang menggendong rinjing mengikutinya dari belakang, sambil menggandeng tangan anak balitanya yang belum sekolah.
Para petani berjalan ke arah datangnya matahari, menyambut harapan yang masih tergantung di langit ke tujuh. Bau amis lumpur sawah menyeruak, tatkala sapi – sapi itu mulai dirudapaksa untuk membajak, dan menggaru, sawah milik para petani. Tembang "ura – ura" terdengar syahdu, untuk memanipulasi kekejaman mereka dalam kerja rodi, romusha, terhadap sapi – sapi sial itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LURAH SOSRO
Short Story#1 dalam Satire 03082023 #1 dalam Satire 29081019 #1 dalam Satire 02012019 #1 dalam Satire 17072018 #2 dalam Satire 16072018 #3 dalam Satire 08072018 #7 dalam Satire 07072018 Lurah Sosro, adalah "Satire Parody Politik" yang dikemas dalam tutur bahas...