Bagian XII

4.9K 157 75
                                    

Para perangkat desa penggagas "Petisi 20" berkumpul di rumah Marjuki. Mereka langsung membahas kabar pemotongan burung perkutut kisut Lurah Sosro.

"Ini momentum bagus kawan – kawan," kata Laminto.

"Maksudnya?," tanya Marjuki.

"Moment tepat kita menjatuhkan kekuasaan Lurah Sosro."

"Aku rasa kurang etis Minto."

"Maksudmu?"

"Lawan yang sudah tak berdaya tidak boleh dibunuh."

"Bukan dibunuh, tapi digulingkan, dan dalam politik memang tidak ada etika."

"Bagaimana kawan – kawan?," tanya Marjuki melanjutkan.

"Setuju dengan saudara Marjuki, tidak etis, kita tunggu saja, mungkin juga Lurah Sosro tidak akan mau hidup tanpa kelamin."

"Betul! Kelamin adalah kehormatan, kekuasaan, dan kenikmatan" pekik Sukiman.

"Ya sudah kalau begitu kita tunggu sampai Lurah Sosro mati alami."

"setujuuuuuu!"

Para penggagas lalu menyanyikan lagu – lagu perjuangan yang menghentak – hentak membakar semangat, diiringi pekik takbir yang menggedor – gedor pintu langit.

Penahanan Mbok Sosro Wedhok dipindahkan ke Polresta di ibukota kabupaten, dan malam itu juga Jumilah dan Ngatinah pun digelandang ke Mapolresta. Markenes belum siuman dari semaputnya, ia sangat kehilangan kelamin Lurah Sosro. Biarpun kisut, hitam, dan gampang mabuk, Markenes tetap membutuhkan kelamin itu.

Dalam imperium mimpinya, Markenes sedang mengejar burung perkutut yang berbang dan hinggap di ranting pohon turi depan rumahnya. Di saat Markenes hendak menagkap perkutut itu, burung jinak – jinak binal itu terbang lagi, hinggap di ranting lainnya.

Dua bulan berlalu kerjadian menggemparkan itu masih menjadi bahan pergunjingan di kalangan masyarakat. Markenes pagi itu duduk termanggu di ruang tengah rumahnya. Rumah itu pemberian Lurah Sosro. Ia memegang kelaminnya, merabanya dan bicara kepada kelaminnya sendiri.

"Kasihan kau memekku, kau bakal kesepian".

"Tidak usah resah Markenes, masih banyak burung yang mau bermain – main denganku," jawab kelaminnya.

"Kau mau main dengan burung lain?"

"Kenapa tidak Mar?, Bukankah Lurah Sosro tidak lagi punya burung?"

"Oh, iya..."

"Untuk apa kau terlalu memikirkan burung perkutut kisut yang suka muntah – muntah sebelum aku puas bermain?"

"Kau senang burung perkutut Lurah Sosro mati?"

"Senang, karena aku pasti akan didatangi burung lain, yang lebih memuaskan."

"Oh, ho oh ya.."

Lamunan Markenes kian jauh ke tengah samudera raya alam khayalnya, ia hanyut dalam kembara berahi tanpa tepi. Tangannya masih meraba – raba kelaminnya, terus meraba, meraba, dan meraba hingga tujuh hari tujuh malam. Markenes lupa mandi, makan, bahkan lupa siapa dirinya. Ingatannya dipenuhi bentuk berbagai burung yang akan menggantikan burung Lurah Sosro.

Hari kedelapan setelah dua bulan kejadian,  Lurah Sosro pulang dari rumah sakit, ia pulang ke rumah tanpa membawa kelamin lagi. Markenes menyambutnya dengan sukacita. Ia menggamit selangkangan Lurah Sosro, ketika pertama kali Lurah Sosro masuk ke rumah. Betapa kagetnya ketika selangkangan Lurah Sosro rata, seperti lembaran papan, rata....

"Kaaaaaaaaaaaaaangmaaaaass, kelaminmu tiada!?"

"Ya Nduk."

"Kang.."

"Apa Nduk?"

"Terus siapa yang akan memuaskan memekku?"

"Ini..." Lurah Sosro mengacungkan jari tengah.

"Kangmas!, Itu bukan kelamin, tentu tidak ada nikmat bagiku dan bagimu."

"Nikamat? Nikmat itu semu Nduk, tidak ada puasnya dan tidak ada batasnya."

"Lalu?"

"Iklas batasnya, asal Nduk menerima jari tengahku ini sebagai ganti kelaminku pasti nikmat juga bagimu dan bagiku."

"Kaaaaaaaaaaaaaaaangmaaaaaaaas!"

"Apa sayang?"

"Aku hanya mau kelamin, tidak dengan jari tengahmu!"

"Lalu?"

"Pergi dari rumah ini, kalau Kangmas tidak berkelamin lagi!"

"Nduk..."

"Kangmas, kelamin itu kehormatan, kejayaan, kekuasaan, kenikmatan, ..."

"Nduk..."

"Aku sungguh tidak mau kamu tidak ada kelamin lagi."

"Ya sudah aku pergi.."

"Pergi cepat!"


LURAH SOSROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang