Bagian II

9.7K 259 127
                                    

Sostro Utomo baru bangun dari peraduan, setelah semalaman harus melayani berahi istri keempatnya. Ia belum mandi junub, sementara fajar sudah menyingsing.

"Baru bangun, Kangmas?," sapa Markenes istri keempat Sosro Utomo.

"Iya, Nduk."

"Tidak mandi dulu?"

"Kan aku belum hendak kemana – mana, untuk apa mandi?"

"Junub, Kangmas."

"Apa junub?"

Sosro Utomo adalah lurah terpilih, pada Pilkades Desa Sindang Sari beberapa saat yang lalu. Melalui pemilihan yang tidak demokratis, penuh intrik politik yang licik, intimidasi fisik, dan mental. Demi kekuasaan Sosro menghalalkan segala cara. Sosro Utomo memiliki empat orang istri. Istri pertama Mbok Sosro Wedhok, Istri kedua Jumilah, Istri ketiga Ngatinah. Istri pertama dan keempat adalah warga Sindang Sari. Istri kedua warga Desa Mulya Jadi, dan istri ketiga warga Wana Sari. Markenes baru dinikahinya sebulan yang lalu, sebelum ia menjabat sebagai Lurah Desa Sindang Sari.

Markenes anak Markadut dan Markisut, ia masih terbilang belia.   Umurnya masih delapan belas tahun. Jika sekolah mungkin baru kelas tiga SMA, atau kalau cerdas mungkin ia baru tamat SMA. Markenes perempuan lenjeh berperawakan montok, sekel, dan sangat menggugah berahi. Wajar jika bandot tua Sosro Utomo menginginkan service gratis setiap malam, melalui ikatan pernikahan yang syah. Murah dan aman, batin Sosro Utomo.

Lurah Sosro menggamit hidung Markenes, istri keempatnya itu hanya tersenyum dan melenguh manja. Mendengar lenguh itu, Perkutut Lurah Sosro bangun menggeliat dengan susah payah, setelah semalaman ia terjepit diselangkangan Markenes.  Perkutut itu terkulai kembali oleh malas yang tercancang dalam kancut kondor. 

"Nduk, bikin kopi sana" Rayu Lurah Sosro.

"Bikin sendiri kenapa Kangmas."

"Kopimu lebih enak sayang..."

"Tapi aku lagi malaaas..." suara manja itu bikin perkutut Lurah Sosro menggeliat payah, rasa ngilu masih mengekangnya untuk bisa bangkit, segar, dan manggung.

Lurah Sosro menggamit hidung Markenes lagi, sambil berlalu ke dapur. Ia kembali sudah membawa secangkir kopi yang masih berasap.

"Sayang, aku punya rencana untuk menaikkan Upeti janggolan warga, kamu setuju?"

"Kalau begitu uang dapurku ikut naik?"

"Aku tanya kamu setuju tidak?"

"Aku tanya uang dapurku naik tidak!"

"Asal kamu mau dinaiki setiap malam, aku pasti naikkan uang dapurmu Nduk"

"Yakin sanggup?, nanti perkutut kisutmu mengeluh dan muntah – muntah kecapaian bermian – main dengan apem tembemku".

"Ah kau sayang, nantang?"

"Masih sanggup?". Mendengar tantangan itu, Lurah Sosro bandot gaek itu menarik tangan Markenes masuk ke dalam bilik asmara. Sayangnya sudah hampir satu jam segala upaya Markenes membangunkan perkutut Lurah Sosro tidak berhasil juga. Perkutut kisut itu tetap terkulai dalam tidur yang panjang, mendengkur, dan sesekali menggeliat malas. Markenes yang sudah terlanjut buncah berahinya meminta jari tengah Lurah Sosro memberi kenikmatan di selangkangannya. Dengus halus, lenguh manja, dan geliat tarian purba Markenes membuat Lurah Sosro menggigil hebat. Ia berharap perkututnya manggung, sayangnya tetap lemas kehabisan gairah. Lolong panjang ajing binal itu mengakhiri kerja keras jari tengah Lurah Sosro.

"Payah kau Kangmas, seperti itu mau minta jatah setiap hari? Pret!"

"Hehehe...," Lurah Sosro terkekeh cabul sambil mengutuki perkututnya yang pemalas.

"Belum jatah tiga istrimu yang lain, huh!".

"Sudah nanti uang dapurmu aku tambah...," rayu Lurah Sosro.

"Asiiiiiik," pekik Markenes sambil menggamit kontol lurah sosro yang masih loyo.

"Hahaha, masih tidur si perkukut kisut,"goda Markenes sambil terus meraba – raba selangkangan Lurah Sosro.

"Nakal kamu Nduk..."


                                                                                                                                                   

LURAH SOSROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang