Bagian IX

5.7K 156 56
                                    

Laminto meninggalkan rumah Lurah Sosro dengan membawa selangkangan yang mengganjal, itu yang menyebabkan jalannya mengangkang. Beberapa kali tangannya mesuk ke dalam cawatnya, untuk membetulkan letak terong gosongnya supaya lebih nyaman. Tetapi ketika kulit tangannya menyentuh azimatnya itu ada rasa nikmat, dan berahi yang memberontak. Laminto mempercepat langkahnya, ia ingin sampai dengan cepat kerumahnya. Kamituwa itu ingin menumpahkan isi nikmatnya ke turuk Sujilah istrinya.

"Asu!, Burung tidak tahu aturan, ngaceng di rumah orang," gumam Laminto sendiri, dalam perjalanan pulangnya dari rumah Lurah Sosro. Selangkangan yang mengganjal memperlambat langkahnya, karena ia harus mengangkang untuk menghindari terongnya lumat terjepit selangkanganya sendiri.

Lurah Sosro keluar dari bilik mesumnya. Matanya masih merah dan menyipit ketika sinar terang menusuk retinanya. Nafasnya bau bacin, pesis seperti comberan limbah tahu. Beberapa kali ia menggeliatkan tubuhnya terasa remuk. Semalaman ia terhimpit berahi Markenes yang menggelora. Tulangnya terasa remah berkeping – keping, halus seperti kristal pecahan kaca. Kulitnya terasa remuk seperti kaleng dipijak kereta api. Kontolnya terasa meliuk – liuk seperti keris. Ia mengambil posisi duduk di samping Markenes, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Markenes yang kokoh.

"Kangmas, ada surat dari Laminto."

"Laminto?"

"Ya, Kamituwa Laminto, salah satu lawanmu dalam pilkades kemarin."

"Iya aku tahu, tapi apa isi surat itu?"

"Mana aku tahu Kangmas, aku tidak berani membuka"

"Mana suratnya?"

Markenes bangkit dari duduknya, kini Lurah Sosro menyandarkan kepalanya di sofa. Bokong yang hanya berbalut daster putih tipis itu bergetar hebat, tatkala Markenes berjalan mendekati meja kerja Lurah Sosro. Sosro tahu, Markenes tidak memakai celana dalam. Dasternya kelihatan menerawang, dan rimba yang selalu menyesatkan berahinya setiap kali berjimak terlihat samar - samar. Markenes mengambil amplop putih di atas meja kerja Lurah Sosro.

"Ini, entah surat apa."

"Hmm, mungkin hasil sosialisasi kenaikan upeti janggolan."

Lurah Sosro merobek amplop dengan perlahan dan hati – hati, takut merusak isi yang ada dalam ampop putih itu. Imajinasi cabulnya membayangkan, ia tengah berusaha merobek selaput dara Markenes.

"Babi kurap! Asu kudis!"

"Kenapa Kangmas?"

"Mereka berani menentangku!"

"Menentang?"

"Ya, mereka membuat petisi menolak upeti janggolan dinaikkan."

"Petis?"

"Petisi budeg!"

"Kok marahnya sama Kenes?"

"Bukan tapi sama cecunguk – cerunguk keparat itu!"

"Lalu Kangmas?"

"Apa?"

"Apa yang mau Kangmas lakukan?"

"Reshuffle semua yang tanda tangan dalam petisi itu."

Petisi? Apa itu petisi? Gumam Markenes dalam hati, suara itu tidak bisa menembus bibirnya yang seksi, hanya menggaung dalam rongga dadanya. Dada Lurah Sosro turun naik, nafasnya tersengal megap – megap. Bukan oleh berahi yang membuncah, melaikankan kecamuk amarah yang parah. Ia meraih stang sepeda ontanya, mengeluarkan dari dalam rumah.

"Mau kemana Kangmas?"

"Urusan laki – laki!"

"Tidak mandi dulu?"

"Tidak.."

"Sarapan dulu Kangmas..."

"Tidak, nanti saja.."

Matahari masih tertatih meniti langit, ia masih bermalas – malasan. Awan menyelimutinya dari paparan hawa dingin pagi ini. udara seolah berhenti berhembus. Daun – daun terpaku, tanpa sedikitpun gerak tarian gemulai melambai - lambai. Hanya burung – burung emprit yang setia bercuit di ranting – ranting pohon di sepanjang jalanan kampung berbatu itu. Lurah Sosro terus mengayuh sepedanya ke arah Barat, menjauhi datangnya matahari. Ia membaur bersama petani – petani yang berangkat ke sawah, bersama pelajar berangkat sekolah, dan bersama penjual – penjual sayuran menjajakan dagangannya. Jalanan kampung itu laksana panggung teater tentang kehidupan para prolaterian.


LURAH SOSROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang