Bagian X

5.4K 166 16
                                    

Tumin, rekan sejawat Lurah Sosro saat keduanya berprofesi sebagai maling sapi. Ia juga warga Desa Sendang Sari, maling itu baru bangun dari tidur. Juriyah istrinya sudah menyuguhkan kopi tubruk tanpa gula kesukaan Tumin. Bagi Tumin kopi adalah hidup, pahit jika tidak bisa menikmati, tapi akan terasa nikmat jika benar cara menikmatinya. Begitulah falsafah hidup dan kopi bagi Tumin, bajingan tengik, maling sapi, dan sekutu iblis juga.

Rumah Tumin hanyalah rumah berdinding gedek rapuh, beratap genting kurapan, dan lantainya pun masih tanah. Uang dari hasil mencuri sapi habis untuk melacur dan berjudi. Prinsip Tumin uang iblis harus habis di makan setan.

"Min, Tumin.!" Suara panggilan dari luar rumah, suara seorang laki – laki tua. Terdengar tidak sopan dan jauh dari tatakrama. Tumin menyeruput kopinya sebelum ia beranjak dari kursi kayunya.

"Kamu Cuk!, ada apa pagi – pagi sudah kemari?"

"Cak cuk cak cuk! Aku lurah sekarang, panggilah aku dengan tatakrama."

"Bagiku kamu tetap maling, bajingan tengik,  Sosro!"

Sosro menyandarkan sepedanya di bawah pohon jambu, depan rumah Tumin. Dengan jalan mengengkang, ia masuk rumah Tumin tanpa beruluk salam, sungguh tak beradab.

"Ada apa Pak Lurah yang terhormat dan dimulyakan para iblis, datang ke gubuk hamba pagi – pagi seperti ini?"

"Taik kau Tumin!"

"Lah katanya mesti memakai tatakrama, kalau bicara sama maling sapi macam kau Sosro!"

"Ada pekerjaan untukmu"

"Ada duitnya?"

"Sapi satu ekor."

"Maling?"

"Bukan itu upahmu, setan!"

"Boleh, apa kerjaku?"

"Membunuh Laminto!"

"Laminto?"

"Ya."

"Apa dulu masalahnya?"

Lurah Sosro menceritakan duduk perkaranya, soal rencana ia menikan upeti janggolan dari 25 kg gabah kering giling per keluarga menjadi 50 kg. Laminto dan semua perangkat desa menolaknya dengan membuat "Petisi 20".

"Sosro!"

"Ya, apa Min?"

"Jika itu masalahnya, aku yang akan membunuhmu!"

"Kenapa?"

"Kenapa matamu itu!"

"Tunggu dulu, kenapa kau marah sama aku?"

"Anjing kau memang Sosro, sekali bajingan tetap saja bajingan!"

"Maksudmu?"

"Aku juga anggota masyarakat yang hidupnya susah, mau kau cekik lagi dengan menaikkan upeti janggolan?"

"Kau tidak bayar tidak apa – apa Min, kau kan sahabatku."

"Dasar maling! Jangan kamu pikirkan hanya keuntungan pribadimu saja Sosro!, Pikirkan juga rakyatmu, mereka semua melarat, hidup susah!"

"Ya sudah, kalau kamu tidak mau jangan banyak bacot Tumin!"

"Hai Sosro, aku sudah cukup membantumu mengintimidasi orang supaya memilihmu dalam Pilkades kemarin. Untuk yang ini jika kau nekat menaikkan janggolan, aku bersama rakyat yang akan menggantungmu di balai desa! Camkan itu Sosro!"

"Baik Tumin! Aku masih punya banyak sekutu yang bisa membatuku, kehilangan kamu tidak membuatku risau."

"Cuiih..! Angkat kaki dari rumahku maling!, cepat!"

Lurah Sosro bangkit dari tempat duduknya, dengan dengkul gemetar, ia berjalan mengangkang meninggalkan Tumin yang mukanya merah padam. Tangannya gemetar meraih stang sepeda ontanya yang sudah di penuhi benang sari kembang jambu.


LURAH SOSROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang