Bagian IV

7.8K 221 36
                                    

Warung Satai Sugiyem Semok berupa bagunan sangat sederhana berdinding papan, beratap genting kurapan, dan berlantai tanah yang selalu lembab. Bau daging terpanggang bara menyeruak dan menguasai ruangan warung. Asap putih membaur liar memasuki warung, seraya hawa panas pun membuat Samingun dan Tumin gerah. Tangan mereka sibuk mengibas – kibaskan potongan kertas kardus kemasan mie instant yang memang disediakan di atas meja. Mata Samingun dan Tumin tidak lekang memandang bokong Sugiyem yang megal – megol karena tangannya mengipasi panggangan daging kambing.

"Sugiyem tidak memakai cawet Min.."

"Ohh..iya, lihat gundukan sintal itu, getar daging kenyal itu membuat selangkanganku penuh sesak."

"Dancok!".

"Ada apa Min?"

"Burungku menggeliat..."

"Awas muntah – muntah burungmu, keracunan memek sangit."

"Cangkemmu!"

Sugiyem melayani pembeli yang lebih dahulu datang dan memesan satai, tubuh montok dan sintalnya membuat Samingun dan Tumin menahan nafas. Mata keduanya lekat pada bokong dan buah dada Sugiyem. Mereka melepaskan nafas ketika Sugiyem mendekati tempat duduk keduanya. Terdengar hembusan nafas itu tersengal, seperti ada sumbatan dalam dada.

"Satai apa gulai Mas?," sapa Sugiyem dengan ramah, dan kian membuncahkan berahi kedua bandot prengus itu.

"Susu Yem," kata Tumin.

"Aku bokong," Seloroh Samingun.

"Susu dan bokongnya tidak dijual," jawab Sugiyem.

"Kalau begitu gratis?," timpal Tumin.

"Bokong dan susuku bukan punyaku Mas, tapi punya suamiku."

"Ohhh...sungguh beruntung suamimu Yem...."

"Sudah bercandanya, mau pesan apa?"

"Satai masing - masing sepuluh tusuk bumbu kecap" ucap Samingun.

"Tambah gulai satu porsi lagi Yem." Sela Tumin.

"Pakai lontong apa nasi?"

"Nasi saja Yem, kami sudah punya lontong," celetuk Tumin.

Sugiyem berlalu dari hadapan keduanya, segela meracik pesanan kedua bajingan tengik itu. Bokongnya kembali menarikan lenggak – lenggok cabul saat mengipasi panggangan satai, dan selangkangan kedua "sampah masyarakat" itu kembali penuh sesak oleh geliat terong gosong mereka.

"Montok mana sama Markenes bini keempat Lurah Sosro, Min?," tanya Samingun.

"Montok Markenes Ngun, pahanya juga kencang, pasti perkutut Lurah Sosro ngilu dijepit Markenes."

"Sok tahu kau, Min!"

"Lah, mau bukti?"

"Maksudmu?"

"Mau merasakan betapa kokohnya cengkraman selangkangan Markenes?"

"Tidak ada peluang, Min"

"Ada pun pasti burungmu muntah darah digigit memek Markenes."

"Dancok!"

Obrolan cabul itu terus mengalir deras menuju hilir muara kemesuman. Sesekali tangan Tumin membetulkan letak terong gosongnya yang terasa mengganjal di selangkangannya. Tangan Samingun meremas – remas jeruk nipis yang disediakan di atas piring, untuk mengasami satai, gulai, atau untuk melunturkan lemak saat mencuci tangan. Jeruk nipis itu lumat menjadi ampas tak berair lagi. Menyadari itu Samingun membuang ampas jeruk nipis itu ke kolong meja.

"Beruntung sekali hidup Sosro ya Min?"

"Beruntung bagaimana?"

"Bajingan tengik model dia, dimasa tuanya terhormat menjadi lurah."

"Tidak lama dia menjadi lurah Ngun."

"Maksudmu?"

"Dia bakal dijatuhkan lawan politiknya."

"Ada yang berani?"

"Rakyat kalau sudah bersatu tidak bisa dikalahkan Ngun!"

"Atas dasar apa rakyat mengkudeta Sosro?"

"Sosro itu serakah, apalagi bininya empat, belum lagi untuk biaya melontenya."

"Bini empat masih melonte?"

"Sosro Ngun!, seperti baru kenal saja kamu."

"Terus apa hubungannya keserakahan Sosro dengan kudeta?"

"Dia pasti menindas, dan rakyat akan berontak"

"Lalu dia terjungkal dari singgasana?"

"Ya, begitu prediksiku"

"Sok tahu!"

"Lihat saja.."


LURAH SOSROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang