Bagian VI

6.7K 192 151
                                    

Lurah Sosro mendekati meja, terompahnya terdengar seperti cemeti petani yang dilecutkan di bokong sapi. Sunyi, semua ketua RT berpaling pandang kepada pemimpin barunya itu. Mantan maling sapi beristri empat, bajingan tengik Desa Sindang Sari, siapa yang tidak tahu itu...

Ini pertama kalinya setelah di lantik oleh bupati, Lurah Sosro duduk di meja keramat itu. Ia menata bokongnya di kursi berukiran artistik, khas ukiran tangan Jepara yang masyur. Dimulai dengan berdehem, ia memulai pidato pertamanya di forum yang terhormat itu.

"Ehem..ehemm..," crut..., perkutut kisutnya menyemburkan kemih pesing.

"Terima kasih atas kehadiran saudara – saudara semua di tempat yang mulia ini."

"Ehmm ...ehmmm kerajaan langit menyaksikan forum agung ini, dan selalu menaungi kita semua di sini, tempat agung dan keramat ini."

"Ini adalah pidato pertama saya di hadapan aparatur dan para iblis jahanam yang bernaung di bawah pohon beringin tua samping balai desa kita ini."

Semua ketua RT yang hadir tertegun dengan isi mukadimah pidato Lurah Sosro, terdengar intelek. Pidato pembukaan itu panjang sekali, seperti dongeng dari jaman Ken Arok sunat sampai dengan Deandeles terjangkit spilis. Para ketua RT mulai kasak kusuk di kursinya, berbisik – bisik lirih dengan rekan sejawat di sampingnya.

"Juki, istri muda Pak Lurah bokongnya bahenol mahol – mahol ya...," bisik Jasiman kepada Marjuki yang duduk persis di sampingnya.

"Oh.., aku membayangkan bagaiman lurah, kontolnya di jepit kokohnya selangkangan Markenes."

"Huss.., cabul!"

"Yang cabul S.S. Van Beuteles."

"Siapa itu?"

"Dalang dari lakon Lurah Sosro ini.."

"Oh.., iya – iya."

"Kau suka menjadi pelakon dalam drama cabul ini?"

"Suka.."

"Hustt kembali ke benang merah."

Pidato sudah sampai ke pokok permaslahan, tentang rencana kenaikan "upeti janggolan" warga Desa Sindang Sari kepada perangkat desa. Kenaikan itu ditetapkan dari 25 kg gabah kering giling per kepala keluarga, menjadi 50 kg gabah kering giling. Hadirin yang mulai mengantuk kembali segar, yang masyuk kasak – kusuk kembali menyimak apa yang disampaikan Lurah Sosoro Utomo bin Mangun Dikromo Bin Kromo Sentiko Bin Noto Pawiro Bin Den Bei Kartiko Bin Liang Tai Wong (bajak laut dari Tiongkok). Darah bajingan tengik dan pemimpin memang menitis dari galur murni nenek moyangnya. Pidato ditutup dan sesi tanya jawab...

"Maaf Ndoro Lurah, apakah tidak salah rencana menaikkan janggolan itu?," tanya Marjuki.

"Tidak!, di mana letak salahnya Juki?"

"Warga kita yang semua petani kere itu akan makin terbebani dengan kenaikan janggolan itu Ndoro Lurah," tukas Jasiman.

"Perduli iblis dengan mereka." Para iblis yang sedang mendengarkan pidato dari bawah pohon beringin tua itu tergagap mendengar bangsanya disebut – sebut.

"Tidak bisa begitu Ndoro Lurah, karena lurah bisa naik karena amanah dari rakyat," tambah Laminto.

"Amanah dari para kere itu? Goblok! jabatanku amanah dari langit, dengar!"

"Mengapa kalian tidak mendukung, bukankah kalian juga akan menikmati kenaikan upeti janggolan itu?," tambah Lurah Sosro.

"Bukan tidak mendukung Ndoro Lurah, tetapi kami iba dengan rakyat," terang Marjuki.

"Iya Ndoro Lurah, biaya sarana produksi pertanian naik, upah buruh tani naik, sembako naik, mana mungkin kita harus mencekik petani dengan menikkan upeti janggolan?" sela Katijan.

"Sudah – sudah, kalau kalian para ketua RT, bayan, kamituwa, tidak setuju dengan rencana menaikkan upeti janggolan, saya akan melakukan reshuffle  terhadap kalian semua."



LURAH SOSROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang