Bagian VII

6.1K 178 44
                                    

Semua diam, muka merah padam Lurah Sorso dan sorot mata seperti anjing lapar mematikan gelombang interupsi dari para perangkat desa itu. Suara seketika hening, dan Lurah Sosro terus mengumbar sorot mata bajingan tengiknya. Iblis yang menyaksikan dari bawah pohon beringin tua, samping balai desa itu terkikik sambil memegangi kemaluan mereka.

"Bagaimana?," tanya Lurah Sosro.

"Kami akan sosialisasikan ke warga dulu Ndoro Lurah."

"Baik saya beri waktu kalian satu minggu untuk mensosialisasikan masalah ini ke warga kalian masing – masing, rapat saya tutup".

Lurah Sosro meninggalkan balai desa dengan mengendarai sepeda ontanya. Iblis yang menyaksikan rapat itu berjingrak – jingkrak merayakan kemenangannya di bawah pohon beringin tua itu. Para perangkat desa masih berkumpul di balai desa itu. Laminto Kamituwa (Kepala Dusun) Bulu Reja, yang juga salah satu kontestan yang kalah dalam Pilkades tempo hari menyeruak ke depan, tempat Lurah Sosro tadi memimpin rapat.

"Kawan – kawan!, Kita harus menggagalkan kebijakan menaikkan upeti janggolan!, Kasihan rakyat yang melarat makin melarat, dan kita dalam terjerembab di lubang kemiskinan!," pekik Laminto sambil mengepalkan tangan kiri dan mengacungkan ke langit.

"Setujuuuu!," gelegar pekik hadirin.

"Kita harus membuat petisi kepada Lurah Sosro, bekas maling, tukang kawin, dan bajingan tengik itu!," pekik Laminto lagi. Tangan kiri masing mengepal dan mengacung ke udara, melantak dan menggedor – gedor pintu langit.

Iblis di bawah pohon beringin tua terpingkal – pingkal melihat aksi perlawanan dari dari para perangkat desa terhadap Lurah Sosro, abdi para iblis itu. "Bakal di-reshuffle kalian goblok!", gumam salah satu iblis yang paling tua. Iblis tua itu bekas pembantu Fir'aun.

"Baik kalau begitu kita buat Petisi, untuk menolak kebijakan Lurah Sosro untuk menaikkan upeti janggolan."

"Nanti malam kita kumpul di rumah Marjuki, setuju!," pekik Supangat sambil berdiri dari tempat duduk, mengepakkan tangan kiri dan mengacungkan kelangit juga.

"Setujuuu!," teriak hadirin.

Rapat ditutup dengan menyanyikan lagu – lagu perjuangan, yang membakar rongga dada para perangkat Desa Sindang Sari. Api perlawanan, api pembangkangan, api perjuangan menyala di Balai Desa Sindang Sari . Iblis ikut membaur dan ikut menyalakan emosi para perangkat desa itu dengan menyulutkan api yang lebih panas dan dahsyat, api jahanam!.

Matahari tergelincir ke selangkangan kaki langit sebelah Barat. Langit semburat merah keemasan. Burung – burung kuntul terbang berkoloni pulang ke sarangnya, dengan membawa sengenggam nafkah untuk anak – anak mereka. Udara mengendap di hamparan sawah luas membentah, teduh, damai. Para petani menggiring sapi - sapi mereka pulang ke kandang. Lumpur melumuri sekujur tubuh sapi dan majikannya. Para istri petani menggendong sedikit hasil bercocok tanam, mungkin ubi, sayu – sayuran, dan umbi rempah. Anaknya yang mesih balita mengikutinya di belakang dengan tertatih – tatih. Sekujur tubuh anak – anak petani itupun mandi lumpur. Bukan karena keras bekerja membantu orangtuanya, melainkan mereka selalu bersetubuh dengan bumi.

Azan Magrib lantang berkumandang dari Masjid Nurul Amal Desa Sindang Sari. Iblis yang bersemayam di pohon beringin tua samping balai desa lagi kocar kacir sambil menutup telinganya. Lari menjauh dari lantunan suci itu, dengan kelamin yang terumbar, karena tangannya dipergunakan untuk menutup telinga mereka. Lampu ublik di rumah warga yang belum mampu memasang listrik PLN mulai menyala. Berkedip – kedip mengintip dari celah – celah gedek. Sindang Sari perlahan berjubah hitam..


LURAH SOSROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang