Bagian VIII

6.1K 182 58
                                    

Warga yang saleh berduyun ke masjid untuk menunaikan Salat Magrib berjamaah. Warga yang jauh dari ruh Allah tetap mengendap di balik benteng pertahanan mereka. Di Rumah Mbok Sosro Wedhok, istri pertama Lurah Sostro, telah hadir Jumilah istri kedua Lurah Sosro, dan Ngatinah istri ketiga. Ketiga pemuas berahi Lurah Sosro itu duduk di ruang tengah. Mereka sedang merencanakan sesuatu.

"Nah!, berapa hari kamu tidak dijamah Sosro?," tanya Mbok Sosro Wedhok kepada Ngatinah.

"Sebulan lebih Mbakyu.."

"Oh, kasihan memekmu garing, dan kau Jum!"

"Sama Mbakyu, sebulan lebih."

"Asu Sosro sudah menerlantarkan kemaluan kita!, Memek kalian sudah gatal?"

"Iya Mbakyu.., sangat gatal" jawab Jumilah dan Ngatinah kompak.

"Kita harus melakukan sesuatu."

"Apa Mbakyu?," tanya Ngatinah

"Kontol Sosro harus kita potong!, biar adil, tidak hanya Markenes saja yang menikmati tiap malam."

"Waduh...," celetuk Jumilah

"Nanti siapa yang menafkahi kita jika Kangmas Sosro Mati?," tambah Jumilah.

"Nafkah? Bukanya kita bisa menafkahi diri sendiri selama ini?"

"Nafkah batin Mbakyu" sela Ngatinah

"Hahaha, banyak kontol bandot tengik yang doyan memek kalian, jangan takut!"

Jumilah dan Ngatinah saling pandang, sesekali mereka menggaruk selangkangannya, gatal karena lama tidak dijamah perkutut kisut Lurah Sosro. Suasana hening sesaat, Mbok Sosro wedhok menyeruput teh tubruk dalam jembung besar, sambil memandangi kedua madunya.

"Bagaimana?," tanya Sosro Wedhok.

"Siapa yang eksekusi Mbakyu,?" tanya Ngatinah.

"Aku Nah!, tapi kalian harus ikut bertanggung jawab."

"Kita masuk penjara?" tanya Jumilah.

"Itu lebih baik dari pada memek kita diterlantarkan Asu Sosro!"

"Di penjara banyak yang doyan apem gosong kalian jangan khawatir,"tambah Sosro Wedhok.

"Kapan kita akan eksekusi Mbakyu,?" tanya Jumilah.

"Secepatnya!," tukas Sosro Wedhok.

Hening lagi, Ngatinah dan Jumilah menyeruput teh celup yang disajikan Sosro Wedhok. Mata keduanya bersitatap, menyiratkan keraguan, dan kegundahan hati. Penjara, itu jelas pahala setimpal yang bakal mereka terima, ketika rencana memotong kontol Lurah Sosro benar terlaksana.

"Bagaimana?" tanya Mbok Sosro Wedhok lagi kepada dua madunya.

"Terserah Mbakyu saja," kata Jumilah dengan sedikit gagap.

"Baik, kita susun rencana strategisnya".

Ketiga perempuan gatal itu berunding, menyusun rencana untuk mengeksekusi kontol Lurah Sosro. Ini dilakukan demi keadilan, kontol Sosro tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang. Dikangkangi dan dinikmati sendiri, tanpa mempedulikan dan mengabaikan sejarah, emosi, dan cinta kasih. Malam telah larut, derik serangga di luar rumah sudah membacakan syair – syair cabulnya. Angin malam meracau, mengigau mengutuki bulan yang mesum berselimut awan. Burung hantu menistakan kegelapan yang membekap kebebasanya. Para istri Sosro Utomo, bekas maling, bajingan tengik, dan pengabdi iblis akhirnya menyepakati permufakatan keji mereka.


Pagi itu Lurah Sosro belum bangun dari bilik mesranya, ketika Laminto datang. Markenes selesai mandi junub, rambutnya masih terlihat basah. Daster putih tipis yang dikenakannya ikut basah pada bagian punggung. Bokong sintal yang kenyal menyembul ke belakang dengan angkuhnya. Laminto buncah imajinasi cabulnya, seraya otak mesumnya menyerayangi selangkangan yang terjepit paha kokoh milik Markenes. Terong gosongnya menggeliat, selangkangan Laminto penuh sesak, Asu,! Batin Laminto penuh rasa kesal karena disuguhi pemandangan yang menggugah selera kelelakiannya. Beberapa kali ia menelan ludah, matanya mendelik, seperti tersedak biji salak.

"Hmmm..Pak Lurah belum bangun Bu,?" tanya Laminto kepada Markenes.

"Belum Pak Minto, ada perlu apa dengan Pak Lurah?"

"Oh, ini Bu ada surat dari kami, yang mau kami haturkan kepada Pak Lurah."

"Oh, boleh saya yang menerima?"

"Boleh saja Bu, asal nanti disampaikan kepada Beliau."

"Tentu Pak Minto."

"Ini suratnya, kalau begitu saya langsung permisi."

"Saya terima Pak Minto."


LURAH SOSROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang