Bagian III

9K 221 40
                                    

Samingun mengendarai mobil barunya melintasi jalanan tanah Desa Sindang Sari, menuju keluar kampung ke arah Selatan. Duduk di samping Samingan Tumin, gembong maling sapi dari Desa Sindang Sari. Tumin dulu satu komplotan dengan Sosro Utomo. Sosro Utomo maling sapi itu, kini naik derajad menjadi lurah, sementara Tumin tetap menjadi maling.

"Kau menang taruhan berapa Ngun,?" tanya Tumin.

"Ini jadi mobil satu, dan sawah dua petak."

"Hebat! Aku jadi maling puluhan tahun, mobil bekas pun belum terbeli."

"Uangmu habis untuk melacur dan berjudi Min.."

"Yah habis dihisap memek dan ditilep kartu."

Mobil baru Samingun hanya meninggalkan jejak debu berterbangan di buritan mobil. Beberapa kerikil terpercik ke pinggir jalan karena terinjak kaki mobil yang masih mulus itu. Orang yang berpapasan menutup hidung, bukan berarti mobil itu bau bacin, tapi karena melindungi hidung mereka dari paparan debu liar. Jalan dari Desa Sindang Sari ke jalan provinsi yang sudah di hotmix sekitar lima kilometer. Di pinggir kanan dan kiri jalan itu, persawahan membentang sampai kaki langit.

Terlihat kawanan burung kuntul menggoda petani yang sedang mengolah tanah. Burung berkaki jenjang itu berjinjit – jinjit mengikuti petani yang sedang membajak dan menggaru sawahnya. Burung – burung berwarna putih, kurus, langsing, dan paruh yang mancung itu berharap ada cacing yang tersingkap dari dalam tanah. Petani yang risih, sesekali melecutkan cemetinya, dan gelegar bak halilintar membahana.

Kuntul – kuntul yang kaget pun terbang rendah dan hinggap di pematang sawah. Mobil baru Samingun seolah berjalan di tengah sawah. Seperti sapi – sapi penarik bajak dan garu. Mobil Samingun terus melaju, menuju kaki langit hingga akhirnya terlihat seperti noktah hitam dalam lembaran kain putih.

"Min, sapi Pak Rejo lumayan banyak, tidak kau kurangi barang dua ekor?"

"Tidak Ngun, Pak Rejo itu masih saudaraku, dia adik kakekku".

"Maling kenal saudara?"

"Tidak."

"Lalu?"

"Ah, aku ingin berhenti jadi maling."

"Mau naik pangkat jadi rampok?"

"Tidak, aku mau jadi petani biasa saja Ngun."

"Petani tidak bisa kaya, selalu ditindas penguasa, lintah darat, dan tengkulak."

"Jadi maling pun tidak bisa kaya, aku buktinya."

"Tapi bisa jadi lurah, Sosro buktinya."

"Hahahaha..." Tawa renyah membuncah dalam mobil baru Samingun.

Mobil baru Samingun dipacu dengan kecepatan sedang ketika sudah menapak jalan hotmix, mobil itu meluncur menuju Candi Pura ibukota kecamatan. Tubuh kedua laki – laki paruhbaya berperawakan tambun itu tidak lagi terguncang – guncang dalam kabin. Jalanan lumayan sepi, sesekali hanya berpapasan dengan mobil truk pengangkut hasil bumi.

"Min kita makan satai Suginem."

"Makan satai atau mau lihat bokong semok?"

"Makan satai sambil menikmati bokong semok."

"Kalau aku suka teteknya yang sepertii kates jinggo."

"Kau pernah telanjangi Suginem?"

"Dulu waktu di janda ketiga."

"Kau sendiri Ngun?"

"Aku penah menempelkan burungku kesela bongkongnya, dan..."

"Apa? burungmu muntah – muntah?"

"Yah, itu kelemahanku, punya burung gampang mabuk."

"Hahaha..." Ledakan tawa itu mengakhiri obrolan dalam kabin mobil baru itu. Mobil Samingun sudah terpakir di depan "Warung Sate Sugiyem Semok," dua lelaki tambun itu keluar dari dalam kabin.


LURAH SOSROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang