Siang terik, merajam kulit – kulit penikmatnya. Burung prenjak meracau mengigau di ranting pohon turi di depan rumah Lurah Sostro. Mengumpat kotor dengan suara parau, mendesah resah. Lesak angin semilir menerpa dedaunan pohon turi itu, membelai mesra dengan hembusan yang lembut. Daun – daun itu menari menyambut kemesuman angin. Sementara Markenes baru selesai mandi keramas, rambutnya masih basah. Kain handuk membelit tubuhnya yang seksi. Lurah Sosro sudah rapi, berkemeja batik dan celana dasar yang licin. Rambutnya juga masih basah, dan jalannya sedikit mengangkang.
"Sayang, aku pergi ke balai desa dulu."
"Hati – hati di jalan, dijaga dengkulnya, takutnya lepas sambungannya di tengah jalan."
"Dancok!"
Lurah Sostro meraih sepeda ontanya, yang terparkir di ruang tengah rumah lurah cabul dan bekas maling itu. Ia menuntunnya ke luar dengan hati – hati. Rasa ngilu di dengkul membuat jalannya sempoyongan dan gemetar seperti baru menenggak alkohol satu galon.
"Mau rapat menaikkan Upeti janggolan, Kangmas?"
"Ya, mau sosialisasi dulu ke para ketua RT."
"Mudah – mudahan rakyatmu tidak berontak Kangmas."
"Berani berontak, tak habisi mereka!"
"Halah, bawa dengkul saja tidak lurus begitu mau menghabisi orang banyak."
"Pakai otak sayang, bukan pakai dengkul!, Sudah aku pergi dulu."
"Ya, hati – hati."
Lurah sosro mendayung sepedanya menyusuri jalanan desa, dengan menahan rasa ngilu di dengkulnya. Setiap kayuhan yang membutuhkan tenaga dengkulnya gemetar hebat. Di selangkangan, perkutut kisutnya pun terasa ngilu, dan sampai saat ini perkukut itu masih tidur bermalas – malasan. Kelamin itu lelah melayani berahi apem montok milik Markenes. Tepat di sebuah bangunan joglo tanpa dinding, lurah yang baru dilantik seminggu yang lalu itu membelokkan stang sepeda ontanya.
Di dalam balai desa para Ketua Rukun Tetangga (RT) sudah menunggu lurah mereka. Semua duduk sambil bergunjing, mungkin menggunjingkan lurah mereka sendiri. Mungkin tentang kebrutalan kelakuan lurah mereka saat menjadi maling sapi, sebelum menjabat. Bisa jadi juga jumlah istrinya yang empat itu, dan imajinasi cabul para Ketua RT.
"Murka langit atas negeri ini Kun," ucap Katijan kepada Sarikun.
"Maksudmu?"
"Bagaimana tidak, kita sekarang dipimpin bekas maling."
"Hmm, iya..."
"Pasti rapat pertama ini akan merugikan rakyat."
"Jangan su'uzon."
"Kata hatiku Kun."
"Bukan kata Lurah Sosro kan?"
Lurah Sosro menambatkan "kuda" uzurnya di samping balai desa, di bawah pohon beringin tua. Konon pohon beringin itu tempat bernaungnya para iblis jahanam di negeri ini. Mungkin salah satunya iblis yang biasa diutus dukun Mardubus untuk mengintip dan menguping keputusan langit. Pohon beringin itu memang kelihatan angker. Daun yang luruh berserak di bawahnya, akar gantung menjulur dari cabang dan ranting pohon, dan batang yang terlihat carut – marut, sangat adijahanami. Dengan berjalan yang sedikit mengangkang, karena perkutut kisutnya yang masih ngilu setelah dijepit selangkangan Markenes, Lurah Sosro memasuki balai desa.
Luras Sosro berjalan di lorong tempat duduk para ketua RT, menuju meja besar yang berwibawa dan agung. Meja tua yang masih mengkilat, bersih, kokoh, yang terbuat dari kayu jati pilihan. Konon meja itu sudah ada dari sebelum republik ini terbentuk. Di latar belakang sebuah lambang negara nangkring dengan gagahnya. Di sebelah kanan dan kiri agak turun sedikit dari lambang negara itu foto presiden dan wakil presiden terlihat anggun mengayomi ruangan itu. Di sebelah kanan tempat duduk untuk lurah, bendera negara berdiri berwibawa.

KAMU SEDANG MEMBACA
LURAH SOSRO
Short Story#1 dalam Satire 03082023 #1 dalam Satire 29081019 #1 dalam Satire 02012019 #1 dalam Satire 17072018 #2 dalam Satire 16072018 #3 dalam Satire 08072018 #7 dalam Satire 07072018 Lurah Sosro, adalah "Satire Parody Politik" yang dikemas dalam tutur bahas...