one ; pindah

1K 84 19
                                    

Liam mengelap peluh. Dia telah melewatkan hampir empat jam, berkemas, kopernya berserakan dan sampah tertebar kacau di mana-mana. Buku Kimia kelas 7 SMP, sisa permen karet, pecahan cangkir, kuas, dan kaos oblong masih tertata rapi di rak.

Biarin aja, siapa tau yang beli rumah ini punya anak yang sekolah di SMP 2 dan masih kelas 7, pikir Liam, tangannya meraba-raba sampul buku.

Sekarang dia tidak tahu harus apa. Empat koper ukuran jumbo bersandar di sebelah lemari. Tas ransel yang biasa Liam gunakan untuk sekolah tampak menyembul dari balik salah satu koper yang berwarna merah jambu. Sofa yang kainnya robek, rak buku kayu, lampu gantung, bahkan tong sampah penuh gulungan kertas...

Liam akan merindukan rumah ini. Sedih mengingat fakta bahwa beberapa jam lagi Liam akan pergi meninggalkan Jakarta dan pindah ke kawasan yang lebih sepi dan bebas macet. Liam benci pindah rumah, karena dengan pindah rumah, itu berarti dia harus meninggalkan teman-temannya di SMA lamanya.

Adaptasi. Liam sangat payah soal urusan adaptasi. Apalagi, dia menganut prinsip "belum tentu ada yang lebih baik di tempat yang lebih baru".

Zoe... Zoe... Nama itu terlintas di benak Liam, lagi. Nama yang belakangan ini sering membuatnya insomnia dan ujung-ujungnya terpaksa tidur di kelas, dan dibawa ke ruang BK. Sudah genap empat bulan, dan Liam belum juga bisa move on.

Liam mengusap wajahnya dan duduk di atas kasur, mengeluarkan selembar polaroid dari dalam saku jaketnya. Potret seorang cowok berambut keriting, tengah merangkul pundak Liam. Di belakang foto itu, terdapat tulisan, 'Harry Styles & Liam Payne:: Best Friend Forever'.

"Woy, Kak!" suara cempreng itu. "Lama amat sih? Kita cuma mau pindah rumah, bukan pindah alam!"

"Niall, bisa gak sih kamu diem? Kakak lagi menyiapkan mental buat pindah. Emangnya kamu kira seenak itu apa pindah rumah?" balas Liam pada adiknya, Niall.

"Ya ampun, Kak, kenapa lagi? Masalah Zoe? Kalian kan udah putus, ngapain inget-inget?" Niall menepuk dahi.

"Seenak-enak jidat aja."

"Dengerin aku, ya, Kak. Di tempat yang bakal kita tempati nanti, pasti ada kok orang yang jauuuuuuuuuuh lebih baik dari Zoe! Gak kayak mantan-mantan lain tuh, si Zayla, Zara, Zelda, Zalea, Zia--"

"Eh, kenapa disebutin semua?" kata Liam kaget. Aibnya terungkap.

"Kan ada enam nama yang belum disebutin. Zelfa, Zamira, Zhira, Zalfia--siapa tuh yang dua lagi? Duh, Niall lupa," si pirang nyengir.

"Ni, jangan bilang sama Mama ya kalo sebenarnya mantan Kak Liam ada banyak. Nanti Kakak beliin permen sebanyak mantan Kakak juga deh," bisik Liam. Niall mengacungkan jempol, anak polos nan bego semacam Niall memang adik idaman semua orang.

Pintu kamar Liam terbuka lebar, menampakkan cewek jangkung berambut coklat, bermata hijau terang macam kucing siam, dan membawa sebuah kardus coklat super gede. Alisnya yang tebal menambah kesan garang pada wajah Arabella Payne.

"Nih, barang-barang kalian yang ketinggalan di kamar Kakak," Tania meletakkan kardus berisi DVD bajakan dan buku-buku bekas Liam dan Niall itu di samping nakas. Lalu dia mengerutkan alis.

"Itu kenapa bukunya gak sekalian dimasukin ke tas?" tanya Arabella.

"Sengaja, Kak, ya siapa tau aja yang beli rumah ini punya anak kelas 7," Liam menjawab sambil nyengir kuda.

"Asal kamu tau aja, ya, Liam, orang yang mau beli rumah kita itu duta besar di Jakarta. Anaknya ada tiga; yang pertama tinggal di London, yang tengah kuliah di Harvard, dan yang bungsu udah seumuran Niall. Jadi, ambil itu buku, masukin ke kardus," ucap Arabella dingin.

"T-tapi Kak--"

"Apa tapi-tapi? Gak ada tapi-tapi. Taksi bakalan sampe di depan rumah dua jam lagi. Cepet beres-beres sebelum yang mau beli rumah dateng," Arabella tersenyum tipis (hal yang sangat jarang dia lakukan selama hampir 19 tahun tinggal seatap dengan Liam), dan berjalan keluar.

"Kak Ara kenapa lagi?" bisik Niall.

"Tau, mens kali."

"Cewek lagi dapet emang nyeremin."

"Dosa apa gue punya kakak galak kek gitu."

My Angel Without Wings //ziam\\Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang