Abel langsung berbinar-binar. Secara teknis mungkin dia seneng aja dapetin nomor Dicky. Tapi kenyataannya, dia masih marah sama gue. Iya, pada akhirnya dia ngedapetin nomor Dicky, sekitar setengah jam yang lalu, setelah dia berhasil jelek-jelek'in gue di depan Dicky sama Tedi.
"Muka lo bahagia bener nih?" sindir gue, yang langsung dibales sama senyumnya Abel.
"Sirik aja lo," katanya sambil senyum.
Tedi mulai bisik-bisik sama gue. "Eh, elo pada ngapain sih? Berantem yang niat dikit kek. Ngapain coba musuhan pake sindir-sindiran, pake senyuman lagi."
Gue cuma mendelik kearah Tedi. "Masa iya gue ngehajar dia. Habis dompet sama kuping gue di tangan Nyokap." bales gue sambil bisik-bisik juga.
"Halah, gitu aja repot. Sikat aja kali," Tedi masih ngelanjutin acara bisik-bisiknya.
Gue? Cuma diem aja. Gue mulai ngerasa aneh aja. Gue sama Tedi bisik-bisik aja kayak ibu ngegosipin. Rempong.
Tedi yang mulai sadar kalau dia gue asingkan langsung nyolot. "Heh, an*jing." umpat Tedi tepat di telinga gue.
Gue yang udah risih spontan ngebales dengan nada agak keras. "Apaan sih! Rempong deh lo," Tedi langsung melototin gue. "Sori," jawab gue pelan sambil meringis.
"Eh, gue balik duluan ya," Dicky langsung berdiri.
Gue cuma ngangguk aja sambil melambaikan tangan. Tedi juga begitu. Tapi lain hal'nya sama Abel.
"Loh? Mau kemana?" Abel berusaha nyegah Dicky. Jujur aja, gue dulu kaya Abel waktu awal-awal kenal Dicky. Gue berusaha cegah Dicky tiap kali mau pergi, soalnya selalu Dicky yang traktir gue. Tapi, berakhir dengan gue yang bayar. Semenjak itulah gue 'bodo amat' kalo Dicky udah siap minggat.
"Mau latihan basket. Udah jam segini, kalo telat bisa dihukum gue," sahut Dicky cepat. "Dah ya, bye!" seru Dicky yang langsung pergi.
***
"Lo serius?" tanya gue untuk kesekian kalinya, berusaha mastiin apakah Abel bener-bener yakin.
Abel langsung senyum. "Serius lah. Lo mau bantu gue kan?" katanya antusias.
Gue cuma diem, tanpa bisa ngomong apa-apa. Gue kira Abel bakalan bilang 'ah, gue bercanda doang' atau 'ya nggak lah!'. Tapi perkiraan gue meleset jauh. Abel kali ini serius.
"Ehm, liat aja nanti ya. Gue nggak janji," jawab gue sambil garukin leher gue yang emang nggak gatel sama sekali.
"Loh, kok elo gitu sih. Sama temen sendiri loh ini!" seloroh Abel.
Gue cuma meringis. "Kan gue lihat dulu kali. Nggak mungkin gue asal 'iya' aja."
Abel cuma ngangguk dikit. "Oke deh. Lagian gue juga mau jadi orang optimis aja,"
Gue cuma ngelihatin Abel dengan tatapan 'whatever'. Soalnya kalo gue berkomentar yang nggak sesuai isi hatinya, bisa kena ceramah panjang lebar gue. Ya mendingan gue diem aja lah.
Gue nggak ikut-ikutan aja.
***
"Alexandra!" seru guru ekonomi gue yang sontak bikin gue gelagapan seketika.
"Eh, iya pak?" balas gue cepat.
"Menurut kamu ini gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Alive
Teen FictionHidup? Menurut gue, hidup itu cuma sebatas menghirup udara dan mengeluarkannya, entah dari lubang manapun (#iykwim). Simpel. Tapi beda cerita sama temen-temen lainnya. Mereka katanya butuh percikan cinta dalam kehidupan. Yah, gue dan lainnya emang b...