Seperti kata orang, dimana lo nemuin kebahagiaan, nantinya juga lo bakalan nemuin kesusahan. Well, mungkin bukan kata orang, tapi kata gue. Karena gue ngalamin itu. Gue ngalamin itu bukan dulu-dulu juga sih. Parahnya, gue ngalamin itu sekarang.
Right now.
Setelah Dicky dan gue kembali berbang*sat ria dan menyebarkan virus bejat di segala kelas, gue berhasil memperbaiki HP gue tercinta. Dan HP gue terpaksa di reboot. Ada sisi baik sama sisi buruknya sih. Sisi baikny, HP gue nggak lemot dan penyimpanannya jadi lumayan free. Sisi buruknya, kontak dan semua isinya hilang.
Tapi yaudahlah. HP gue nyala aja gue udah nari nggak jelas. Gue udah cukup bahagia. Tapi sekarang, gue juga cukup susah.
Pagi pagi buta (gue nggak buta sih. Tapi orang-orang nyebutnya gitu) Abel nelpon gue. Gue nggak tahu apalagi motivasinya. Meskipun Abel punya motivasi, gue yakin motivasinya nggak bakalan jauh-jauh amat dari hal yang gue benci. Itu udah teruji klinis.
"Ha—"
"Alex! Lo gue telepon dari kemaren kenapa nggak bisa? Gue kirain lo udah mati tau," Seperti biasa, dengan bejatnya Abel selalu berhasil bikin telinga gue rusak.
"Ya, kalo gue mati lo orang pertama yang bakalan tahu kok." Gue cuma meringis. Paling nggak Abel bakalan jadi orang pertama yang tahu gara-gara dia yang berpotensi tinggi ngebunuh gue, dengan serangan sonar di telinga gue. Bahkan, dulu gue sempet ngira suara Abel bakal merusak pendengaran semua mahkluk alam semesta.
"Oke, itu mulai serem. Forget about that, oke? Jadi gue mau curhat." Abel memulai pembukaan dongengnya dengan kalimat yang sakral.
Oh, yeah. Upacara sakral ini bakalan dimulai. Yang bisa gue harapin cuma satu. Semoga Abel nggak tahu kalo gue nanti bakalan tidur seandainya gue bener-bener nggak tahan.
Gue cuma menggumam nggak jelas tiap Abel mulai cerita ini-itu, kalang kabut. Selama 2 jam an Abel berhasil membuat kuping gue hangat gara-gara gue kelamaan nempelin HP ke kuping. Dan hikmah dan hidayah yang bisa gue ambil dari curhatannya sebenernya cukup simpel.
Abel berantem lagi sama temennya. Untuk kesekian kalinya. Dan berakhir dengan mereka musuhan. Hikmahnya, jangan pernah dengerin temen lo yang curhat tentang masalah temennya yang lain. Karna itu bakalan makan waktu lama, dan berakhir dengan posisi hati yang nggak memadai.
Gue dongkol sekarang. Coba deh, lo punya temen, tapi temen lo setiap ngehubungin lo, cuma buat curhat masalah temennya yang lain. It hurts. Gue bukannya mendadak melankolis atau sensitif. Gue kesel ajalah.
Apalagi, tadi Abel dengan santainya bilang "Gara-gara dia, gue jadi kehilangan sahabat terbaik gue." dan itu berhasil bikin gue melek seketika. Shitty.
Pokoknya gue jadi males aja. Gue kehilangan kesenangan gue sendiri. Yah, lupakan...
***
Nggak tahu kurang sial apa hidup gue, tiba-tiba aja pas istirahat udah ada wajah absurd dua makhluk tak diundang. Ditambah satu nyengir, satu senyum. Lengkap kesialan gue hari ini. The worst day ever.
"Muka lo bersinar amat hari ini?" Dicky mulai nyengir nggak guna. Bikin tangan gue kepingin nyolok bibirnya.
"Hai, Lex." Tedi nyapa gue dengan pose sok alimnya.
"Lo berdua kalo ngerusuh buruan minggat. Gue lagi nggak mood." Gue ngibasin tangan pelan. Jiwa kebangsatan dan kebejatan gue entah kemana nguap dari tadi pagi. Mungkin ini yang disebut menyublim.

KAMU SEDANG MEMBACA
Alive
Teen FictionHidup? Menurut gue, hidup itu cuma sebatas menghirup udara dan mengeluarkannya, entah dari lubang manapun (#iykwim). Simpel. Tapi beda cerita sama temen-temen lainnya. Mereka katanya butuh percikan cinta dalam kehidupan. Yah, gue dan lainnya emang b...