Gue bangun dengan suasana hati ceria. Suasana pagi ini mendukung banget. Sejuk, burung-burung berkicau dengan indahnya. Gue sontak membuka jendela kamar gue, dan sinar matahari yang hangat menyambut diri gue dengan indahnya seakan gue ini tokoh utama salam sinetron.
Gue langsung berjalan kearah lemari gue, ngambil seragam dan handuk. Dan berjalan ke rumah kedua gue. Disitulah gue menghadapi panggilan alam gue dengan sempurna tanpa halangan.
Habis itu sesuai rutinitas sesuai biasa, gue langsung jalan ke ruang makan, nyomot roti sebiji dua biji yang langsung gue lahap. Setelah itu gue menghampiri saudara tersayang gue, alias motor gue, dan naik diatasnya. Disitulah gue merasa hari ini adalah hari yang baik banget.
Jalanan lancar, tanpa macet. Gue bahkan dapet lampu hijau terus. Jadi gue gas pol tanpa beban.
Ahh.. Hari ini indah banget.
***
"Hai, Alex," Dani nyapa gue di kelas dengan senyum manisnya.
Gue pun ngebales Dani dengan senyuman manis gue. "Hai, Dani," jawab gue masih dengan senyuman yang sama.
"Tumben nggak ke kantin?" tanya Dani.
"Lah, ini mau ke kantin. Duluan ya," jawab gue dengan nada ramah tamah. Gue pun melambaikan tangan gue bak seorang penari.
"Pagi Dicky sayangku," sapa gue saat ngelihat Dicky di kantin.
Dicky yang ngelihatin gue cuma bisa cengo. "Ngapain sayang-sayangan?" bales Dicky sewot.
"Biar nggak keliatan jomblo aja," sindir gue pelan dan langsung dapet pelototan dari Dicky.
"Bawel. Gimana nanti? Jadi kan?" Dicky natap gue lurus selurus-lurusnya.
Gue cuma senyum. "Hm?" Gue masih senyum.
.
.
."Arghhh!!" Gue spontan teriak habis itu nabok muka Dicky. "Dicky sialan! An*jing lo!" umpat gue sejurus kemudian.
Dicky masih megang pipinya yang gue tabok. Dia mantengin gue seakan gue habis memperkosa dia. "Apaan sih!" bales Dicky nggak terima.
"Lo temen bang*sat," kutuk gue dengan semena-menannya. Gimana nggak? Hari gue yang sempurna bagaikan film ini langsung ancur seketika. Gara-gara Dicky ngingetin gue.
Soal hari ini. SABTU. Sialan.
"Lah? Lo eror? Apa saking go*bloknya lo pura-pura lupa?"
Gue cuma natap Dicky. Gue pelototin dia. Tapi nggak ngaruh. Mungkin karena mata gue yang sipit, jadi sama aja mau gue melotot atau kaga.
"Tauk deh. Pokoknya nanti kudu jadi. Bye!" Dicky nepuk pundak gue, habis itu ninggalin gue.
Temen sialan.
***
"Kapan mau berangkat?" Dicky sama Tedi nyamperin kelas gue.
Gue cuma ngibasin tangan. "Bentar. Gue nyelesaiin ini dulu. Mepet. Tinggal dikit."
"Janjiannya jam berapa sih?" Tedi mulai protes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alive
Teen FictionHidup? Menurut gue, hidup itu cuma sebatas menghirup udara dan mengeluarkannya, entah dari lubang manapun (#iykwim). Simpel. Tapi beda cerita sama temen-temen lainnya. Mereka katanya butuh percikan cinta dalam kehidupan. Yah, gue dan lainnya emang b...