"Lex!"
Gue langsung nengok, dan langsung dihadapkan sama pemandangan yang jelas nggak enak banget dimata gue. Perutnya Tedi.
Gue langsung menengadah dan mendapati wajah Tedi yang lebih nggak enak buat dipandang. "Pagi-pagi gue udah ditawarin perut lo nih?" goda gue.
"Sialan," maki Tedi seketika. Gue cuma terkekeh pelan aja.
"Jadi? Ngapain lo kesini?"
Tedi cuma mengendikan bahu. "Bosen aja. Dicky katanya hari ini ijin, jadi gue nggak ada temen di kelas."
Gue cuma nyerngit heran. "Ngapain Dicky ijin? Tumben amat,"
Tedi cuma ngangguk setuju sama gue. Akhirnya dia nyuruh gue geser supaya bisa duduk di samping gue. "Lo akhir-akhir ini ngapain aja?" Tedi mulai cuap-cuap.
Gue cuma diem. Mikir bentar. Selama seminggu ini, gue emang nggak dekat sama Dicky dan Abel. Jadi cuma satu kata yang cocok buat kondisi gue saat ini, "Gue bahagia," kata gue mantap dengan seulas senyum nggak jelas.
Tedi langsung ngelihatin gue dengan tatapan horor. "Jawaban lo nggak nyambung," sindir Tedi.
Gue cuma mengendikan bahu. "Pokoknya, selama seminggu ini, apapun yang gue lakuin, tanpa Dicky dan Abel, bikin gue bahagia." terang gue masih senyum nggak jelas.
Tedi cuma ngelihatin gue dengan tatapan jengah. "Serah deh." jawabnya pendek.
"JAMKOS!!" Tiba-tiba aja Dani masuk ke kelas sambil teriak. Dan parahnya, disambut pake teriakan-teriakan nggak jelas lainnya dari temen-temen.
"Jamkos'nya di kelas kita doang?" celetuk gue sewaktu Dani ngelewatin bangku gue.
"Hah? Nggak. Sesekolah jamkos. Gurunya workshop." Dani sumringah.
Gue langsung ngangguk, habis itu nepuk pundak Tedi pelan sambil ngelihatin Tedi secara intens.
"Apaan sih lo," semprot Tedi sambil nyingkirin tangan gue dari pundaknya, dan ngelihatin gue dengan tatapan jijik.
"Kan jamkos nih. Dan Dicky nggak ada. Lo disini aja ya," kata gue dengan senyum.
Tedi langsung ngerti maksud ucapan gue, langsung beranjak berdiri. Tapi langsung gue tarik celananya.
Fatality.
Celana Tedi langsung robek di bagian belahan bokongnya. Cewek-cewek di belakangnya sontak teriak-teriak nggak jelas, antara kagum sama bongkahan pantat Tedi yang semok atau jijik sama boxer-nya yang warnanya ijo terang.
"Aarghhhh! Alex sialan!" teriak Tedi sambil nampol pundak gue. Tedi sontak duduk lagi di kursi habis itu natap gue dengan tatapan kematiannya.
"Sori. Nggak sengaja. Lo sendiri sih, pake mendadak berdiri. Kan gue kaget." Gue berusaha membela diri.
"Alesan," bantah Tedi.
"Gini aja deh. Lo disini aja. Daripada daleman lo keliatan? Kan kasihan," ujar gue pada akhirnya.
Tedi langsung melotot. "Niat lo dari awal kan emang gitu!"
Gue cuma cengengesan nggak jelas, dan Tedi dengan muka terpaksa naruh bokongnya dia ke kursi lagi.
"Nanti gue pinjemin jaket deh," hibur gue pada akhirnya karena muka Tedi mulai nggak sedep.
Tedi melotot kearah gue. "Yakali gue entar dikira PMS," Tedi mulai sarkas.
Gue cuma bisa cengengesan. "Ya nggak apa-apa dikira PMS. Daripada ketauan boxer-nya ijo terang kaya stabilo gitu?" Gue naik turunin alis gue dengan nggak jelas, seakan gue om-om genit yang nggodain cewek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alive
Teen FictionHidup? Menurut gue, hidup itu cuma sebatas menghirup udara dan mengeluarkannya, entah dari lubang manapun (#iykwim). Simpel. Tapi beda cerita sama temen-temen lainnya. Mereka katanya butuh percikan cinta dalam kehidupan. Yah, gue dan lainnya emang b...