Reflection

4.3K 693 11
                                    

Jimin berdiri dengan tangan tergantung hendak mengetuk pintu milik Yoongi. Tetangga sekaligus... ah, Jimin tak tahu. mari kita lewatkan saja bagian ini. Jimin masih belum menggerakkan tangannya. Ia ragu.

Ia berbalik kemudian bersandar di pintu itu seraya mendesah kan nafas pelan. Perkataan Taehyung masih terngiang di telinganya.

Yoongi sekarat. Ia tidak dapat bangun dari tempat tidur sementara Jungkook tidak bisa datang karena ia sedang mengurus kedai mereka yang baru. Namjoon juga sama saja. Dan Hoseok bukanlah yang bisa untuk diandalkan.

"Aku melakukannya karena kami tetangga, bukan karena aku peduli." Jimin mengangkat bahunya, mencoba rileks. Ia mengetuk pintu pelan. Mengingat Yoongi memang sudah lemah sejak kecil, seharusnya Jimin tidak sepanik ini. Ia tidak panik. Ia benar-benar santai. Namjoon menyuruhnya membeli beberapa buah,, roti, dan susu kental. Sementara Taehyung yang memaksanya datang kesini.

Ia mengetuk lagi. Namun tak ada jawaban. Ia kembali mengetuk, lebih keras dari sebelumnya. Apakah Yoongi benar-benar tak dapat bangun seperti yang Taehyung katakan? Jimin rasa pintunya terkunci? Atau ia dobrak saja?

Jimin menyiapkan kuda-kuda sebelum nyaris saja menabrakkan bahunya pada daun pintu yang tiba-tiba terbuka. Membuatnya susah payah menyeimbangkan tubuh. Sementara Yoongi hanya menatapnya heran.

"Kau masih hidup ternyata."

"Maaf jika kau kecewa." Balas Yoongi sarkartis.

"Bagaimana keadaanmu?" Yoongi tidak menjawabnya. Jimin melangkah masuk setelah Yoongi memberinya akses. Yoongi duduk di sofa tunggalnya dengan menghadap Jimin. ia menatap tangan Jimin yang penuh dengan buah-buah dan beberapa roti.

Jimin sadar arah pandang Yoongi lalu mengangkat tangannya dan meletakkan semua di atas meja. "Ini semua dari Namjoon hyung."

"Namjoon tak seharusnya membeli ini. Aku hanya demam."

Jimin menaikkan sebelah alisnya. Tangannya mendekat pada wajah Yoongi. Membuat Yoongi bergerak kebelakang. Namun terhalang oleh punggung sofa. Tangan Jimin merabai kening Yoongi yang berkeringat. "Badanmu dingin tapi kau berkeringat. Kau jelas-jelas sakit. Dimana obatmu?"

Jimin menerobos memasuki ruangan yang ia yakini sebagai dapur yang biasanya menyimpan kotak obat atau sejenisnya. "Tunggu Jimin." lengannya ditahan oleh tangan Yoongi. Membuatnya menoleh dan menatap wajah Yoongi dari dekat. "Kau tidak usah repot-repot. Aku bisa sendiri."

"Kau demam. Bahkan wajahmu sampai merah." Perkataan Jimin sukses membuat Yoongi melepaskan tangannya dengan mata terbuka lebar.

Wajahnya merah bukan karena malu akan tetapi karena sakit. Ya ya, karena demam.

"Tidak usah. Aku hanya tak mau mengganggumu lagi. Aku sudah berjanji."

Jimin diam sejenak menatap Yoongi dan lantai berkali-kali. Jadi benarkah kalau Yoongi menghindarinya karena permintaannya waktu itu? Diam-diam Jimin meringis. Dadanya agak sakit.

"Bagaimana jika aku ubah saja permintaanku."

"Maksudmu?" Tanya Yoongi heran. "Kau tidak usah menjauhiku. Aku akan memaafkan mu jika kau mau menuruti perkataanku untuk hari ini. Bagaimana? Setuju?"

Yoongi tampak berpikir sejenak. Sebelum akhirnya ia mengangguk ragu. "Tapi kenapa?" Tanya Yoongi.

Jimin menghela nafasnya. "Katakan saja dimana kotak obatmu."

Yoongi memutar bola matanya. Lalu menunjukkan kotak persegi berwarna putih yang tergantung di dekat sana. Jimin membongkar isinya sebelum akhirnya menemukan sebuah obat. "Minumlah ini." Ia menyodorkan sebuah botol yang entah apa isinya. Namun Yoongi menggeleng.

I Found My Flat LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang