14. Introspeksi Diri

1K 55 6
                                    

"Lo kenapa nyuruh gue buat anter pulang Sarah? 'Kan ini kali pertama gue ajak dia makan malam. Ganggu aja lo, ah," Rio langsung mengomel pada saat ia sudah bertatap muka dengan Gerry, orang yang meneleponnya beberapa menit lalu untuk mengembalikan Sarah ke rumahnya, padahal mereka sudah setengah jalan ke tempat makan yang enak.

Gerry tersenyum, kali ini bagi Rio, senyum Gerry sangatlah menjijikkan untuk di pandang mata. "Satu sama, ya, Bro?"

Kening Rio berkerut dalam. "Hah? Satu sama? Maksud lo?" tanyanya, penasaran tingkat kuadrat.

Gerry berdecak sembari memutar kedua bola matanya ke atas sejenak. "Lo udah lupa ya? Kemarin, pas gue mau jalan sama Adel, lo bilang, adek gue nangis karena gue tinggal. Lo nyaranin gue buat balik ke rumah, dan dengan begonya gue percaya sama lo. Alhasil, gue batalin rencana jalan gue sama Adel dan balik ke rumah. Tapi, lo ingat? Adek gue sama sekali nggak nangis. Dia malah kesel lihat gue pulang, nggak bawa permen coklat buat dia. Sekarang, udah paham, bukan?"

Kini, gantian Rio yang mendecakkan bibirnya. "Lo iseng banget, ya? Ini kali pertama gue bakalan kencan sama Sarah. Sedangkan lo? Lo udah sering, kali, jalan bareng Adel. Ah, nggak asyik lo, ya?"

"Ya, setidaknya skor kita satu sama." Balas Gerry, mudah sekali ia berkata bagai tak ada dosa yang ia punya setelah berlaku jahil pada Rio.

Rio hanya mendenguskan napas lelah, lalu meletakkan kunci mobilnya ke atas meja kayu terdekat. Setelahnya, ia menghempaskan tubuh ke sofa yang keempukannya sangat nikmat dirasa. Meja kayu, sofa empuk, semua itu kepunyaan Gerry, karena kini Rio sedang berada di rumahnya.

"Angel ngehubungin gue tadi,"

Nama yang diucapkan Gerry berhasil membuat tubuh Rio yang sebelumnya tiduran berubah menjadi duduk. "Dia bilang apa?"

"Teleponnya nggak gue angkat, karena gue bingung mau ngomong apa kalau dia nanya macem-macem tentang lo yang nggak gue tau apa jawabannya."

Rio sudah tak tahan lagi untuk tidak melemparkan bantal sofa ke arah Gerry, karena menurutnya, sedari tadi Gerry sudah memancing emosi saja. Maka, ia lakukan hal itu; melempar sofa ke Gerry saat cowok itu memejamkan mata. Keberuntungan jatuh kepada Rio, bantal itu mengenai muka tampan Gerry.

Gerry berdecak--lagi. Dilempari satu bantal sofa, rasanya sakit juga. "Gue emang nggak angkat teleponnya. Dan dia ngirimin gue pesan,"

"Apa?"

"Isinya?"

"Iya!"

"Hahaha. Santai, Bro. Nih, lo lihat sendiri aja," ujar Gerry dengan tangan sebelah kanan yang terulur untuk memberikan ponsel hitam kepada Rio.

Angellica Abraham : Gerry, lo tau Rio di mana sekarang? Gue butuh ngomong sama dia.

Angellica Abraham : Please, Ger, kasih tau gue.

Angellica Abraham : Gue dan Andro, sama sekali nggak ada apa-apa. Gue cuma sayang sama Rio. Gue pengin balikan lagi sama dia... 😥

"Lama banget lo baca gitu doang,"

"Menurut lo, dia jujur nggak?" tanya Rio, nggak nyambung dengan cicitan Gerry barusan.

"Selama gue temenan sama dia, dia nggak pernah bohong sama gue. Tapi, ya, balik lagi ke elo-nya," jawab Gerry, jujur.

"Oke."

Someone Like YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang