24. Keterkejutan

693 38 0
                                    

Seperti yang Irsyad Lazario lihat dari jendela apartment Ibunya tadi, jalanan di ibukota sekarang tidak terlalu padat meski pun hari sudah sore. Di hari-hari biasa, jalanan akan sangat padat oleh sebab kendaraan-kendaraan pribadi orang kantoran yang baru pulang kerja atau kendaraan umum lainnya yang menarik penumpang.

"Gue berharap Jakarta selama-lamanya begini. Nggak ada kemacetan yang bikin kepala pusing 7 hari berturut-turut," ucap Gerry yang duduk di jok penumpang, di samping kiri Rio yang sedang menyetir mobilnya.

Rio mendengus geli. "Ntar, kalau semisal ibukota Indonesia udah resmi diganti jadi kota lain, jalanan nggak bakal sepadet biasanya,"

Gerry menggeleng-gelengkan kepalanya cepat-cepat. "Nggak. Ibukota nggak boleh diganti sama kota lain. Ntar kalau ibukota pindah, terus artis-artisnya juga pada pindah gimana? Gue 'kan masih tetep mau ketemu langsung sama Nabila JKT48!"

"Lo masih demen sama dia? Astaga, Ger, dari SMP tahu lo nyeritain dia mulu ke gue. Nggak ada abis-abisnya apa?"

"Hehehe," Gerry cengengesan sendiri. "Mau abis gimana, Yo? Namanya perasaan 'kan nggak ada yang bisa maksain."

"Tau, ah. Kalau udah ngomongin JKT48 sama lo, otak gue buntu. No words," kesal Rio.

Gerry masih cengengesan sendiri, bikin sahabatnya yang lagi nyetir bergidik ngeri--jijik juga, sih.

Di tengah perjalanan, lampu lalu lintas menunjukkan warna merah terangnya. Mau tak mau, Rio menghentikan laju mobil di jarak beberapa meter dari lampu lalu lintas tersebut. Ia seketika teringat bahwa sedari tadi Gerry bersamanya. Apakah anak itu tidak merasa direpotkan?

"Ger, gue nggak ganggu lo, nih? Daritadi lo bareng gue mulu tahu," Rio bertanya sambil menatap Gerry di sampingnya.

Aktivitas Gerry menekan-nekan spinner-nya ia hentikan, tetapi benda itu tetap berputar-putar di tangannya. "Enggak. Gue malah gabut di rumah. Lo tahu sendiri di rumah sesepi apa,"

Rio menatap Gerry iba. Tak perlu Gerry jelaskan, Rio sudah tahu makna kalimat yang ia ucapkan barusan. Gerry bukannya tidak punya kedua orangtua lagi. Gerry masih punya mereka, tetapi mereka berdua seolah-olah telah lenyap di mata Gerry. Itu semua karena sikap mereka berdua terhadap Gerry, yang selalu menomorsekiankan remaja itu. Yang dinomorsatukan selalu pekerjaan, pekerjaan, dan pekerjaan. Selalu pekerjaan.

Terkadang, Rio bingung, apa yang istimewa dari sebuah pekerjaan dibandingkan seorang anak? Bukankah jika pekerjaan hilang, maka akan ada pekerjaan lain yang bisa didapatkan? Akan tetapi, bagaimana dengan hilangnya seorang anak? Mau dicari di mana dia? Memang ada begitu banyak anak di dunia ini, tapi mencari yang sama itu sungguh mustahil. Karena kita semua tahu, manusia satu dengan manusia lainnya itu beda. Mereka berdua jelas tidak sama.

"Udah, jangan kasihan gitu ke gue. Udah biasa gue mah," ucap Gerry yang sadar dengan tatapan iba dari sahabatnya untuk dia.

"Gue bukannya kasihan, Ger, tapi ya lo tahu sendiri lah, gue orangnya gimana," celetuk Rio.

"Iya, gue tahu lo orangnya gimana. Drama abis 'kan?"

Seketika Rio menatap jengkel Gerry. Sedari di lapangan tadi, Gerry terus saja meledeknya dengan kata "drama". Tidak capek apa si Gerry itu? Rio aja yang diledekin capek.

"Lampunya udah ijo, kotoran gobi! Buruan jalan!" Gerry berseru kala sadar lampu lalu lintas sudah berubah berwarna hijau, menandakan bahwa kendaraan yang berhenti tadi boleh melanjutkan perjalanan mereka.

Someone Like YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang