8. New Boyfriend?!

1.7K 92 3
                                    

"Lo beneran suka sama Rifqi, ya?" Tanya seorang lelaki dengan suara baritonnya. Dirinya—diri lelaki itu—kini sedang duduk di taman belakang sekolah, dengan Sarah di sebelahnya. Di tangan kiri lelaki itu terdapat sebotol air mineral yang ada manis-manisnya gitu—sesuai dengan iklan di televisi.

Sarah tidak langsung menjawab pertanyaan Hasnan. Ia lebih memilih untuk meneguk teh poci yang sudah dibungkus dengan plastik minuman dengan rapi terlebih dahulu ke dalam mulutnya melalui sedotan berwarna putih. Entah kenapa, setelah mendengar pertanyaan Hasnan barusan, kerongkongan Sarah terasa tercekat. Tidak ada yang tahu kenapa—termasuk dirinya.

Helaan napas kasar dari Hasnan terdengar. Begitu kasar, hingga mampu menarik perhatian Sarah. Kini, perempuan itu menoleh pada Hasnan dengan ekspresi bingung tersamarkan.

Dengan keberanian yang terlampau setengah-setengah, Hasnan memegang kedua pundak Sarah. Masih dapat ia rasakan kehangatan yang sama ketika ia melakukan hal itu beberapa waktu lalu. "Gue mau lo jujur. Meski hati gue bakal sakit setelah lo jawab dengan jujur." Katanya, lembut sekali.

Sarah meringis sendiri—tentu di dalam hati. Harus menjawab apa dirinya? Mengatakan iya, ia menyukai Rifqi? Jangan bodoh. Bahkan hanya sekadar suka saja, Sarah tidak punya. Kendati saat berada di dekat Rifqi—apa lagi berdua dengannya—mampu membuat jantung Sarah dag-dig-dug tak karuan, tapi Sarah berpikir, itu bukanlah efek dari rasa suka dan semacamnya.

Apa, ia harus mengatakan tidak saja untuk jawaban? Namun, Sarah terlalu takut. Terlalu takut kalau ia menjawab seperti itu, Hasnan merasa Sarah telah memberikan dirinya secercah harapan—meski tidak terucapkan.

Sarah tidak mau melambungkan, kemudian menjatuhkan hati seseorang. Ia tahu rasanya bagaimana. Tidak enak, sungguh.

Risih, Sarah melepaskan pegangan kedua tangan Hasnan di kedua sisi bahunya. Dicobanya untuk menghirup udara segar walau sangat sulit. Dan menjawab, "enggak" dengan sama sulitnya.

Ya, Sarah menjawab tidak. Tidak untuk perasaan sukanya pada Rifqi, dan juga tidak untuk rasa memberikan harapan pada Hasnan. Tidak untuk kedua-duanya.

Setelah mengatakan jawabannya, dapat Sarah lihat senyum kebahagiaan terpancar di wajah Hasnan. Entah karena apa, tetapi Sarah berasumsi itu karena Hasnan benar-benar merasa Sarah telah memberikannya—

"Masih ada harapan untuk gue, Sar?"

harapan.     

Oh, sungguh tidak perlu kau tanyakan lagi. Hasnan betul-betul menganggap Sarah telah memberikannya.

Padahal sebenarnya—meski sangat sulit diucapkan—Sarah sama sekali tidak mau mantan terakhirnya berpikiran macam-macam atas dasar jawaban tidaknya tadi.

Serius.

Kini, dalam hati Sarah meringis. Entah bagaimana caranya Sarah menjelaskan pada Hasnan tentang perasaannya yang sudah berubah.

Ia memang suka—atau lebih tepatnya sayang—pada Hasnan. Tetapi, itu dulu. Ia memang pernah berpacaran dengan Hasnan—layaknya remaja lain di sekitarnya. Dan itu pun, dulu. Dulu dalam kurun waktu sebulan yang lalu. Belum terlampau lama sekali, memang. Tapi tetap saja, itu dulu.

Dan sekarang? Semuanya berubah seiring waktu berjalan. Tidak ada lagi perasaan suka—terlebih lagi sayang—Sarah untuk Hasnan. Ia hanya suka dengan Hasnan, karena efek dari rasa kagumnya. Ia hanya sayang pada Hasnan, karena—memang—mereka teman sekelas.

Lebih dari itu, di luar perasaan Sarah. Terhadap Hasnan.

Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Sarah, membuat Hasnan yakin, bahwa perempuan di sebelahnya bingung mau jawab apa. Kemudian, sekali lagi, Hasnan menghela napasnya. Tidak sekeras yang pertama kali, tetapi tetap saja Sarah masih bisa mendengarnya.

Someone Like YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang