27. Kehilangan [Flashback E]

659 34 0
                                    

Malam ini, Rifqi sedang mengerjakan tugas sekolah, ibu menghampirinya ke dalam kamar sambil sesenggukan. Rifqi ingat, air mata mama sudah menggenang di pelupuk mata. Tetapi, alih-alih meluruhkan semua air mata itu ke pipi, mama justru memilih untuk menahannya saja, agar Rifqi tidak melihat kesedihannya.

Padahal mama salah. Rifqi tahu, mama sedang menahan tangisnya.

Rifqi yang masih merupakan remaja labil SMP, lantas bertanya, "Mama kenapa?"

Mamanya menggeleng. "Mama nggak apa-apa," jawabnya, jelas sekali berbohong.

"Nggak mungkin Mama nggak kenapa-napa. Mata Mama merah," Rifqi menggeleng-gelengkan kepala cepat, tidak percaya dengan jawaban mamanya.

"Mama nggak apa-apa, Sayang," Rena--mama Rifqi--menghapus air matanya menggunakan telapak tangan. "Kamu baik-baik ya, sama papa kamu? Jangan nakal-nakal. Kalau dibilangi, kamu harus nurut. Paham?"

"Paham," Rifqi menganggukkan kepala mantap. "Tapi, kenapa Mama malah ngomong begitu? Mama nggak mau pergi 'kan?"

Rena terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Sayangnya, Mama harus pergi. Sekarang,"

"Ke mana?" alis Rifqi mengkerut.

"Ke rumah nenek,"

"Mau apa di sana?"

"Mau nemeni nenek di sana, Sayang ...,"

"Kenapa aku nggak diajak sekalian? Biasanya 'kan aku ikut juga?"

Lagi-lagi Rena terdiam di tempat. Apa yang harus ia ucapkan sebagai jawaban agar anaknya tidak merasa curiga lebih dalam?

Menghembuskan napas, Rena berkata, "Kamu harus sekolah. Sekolah yang bener, supaya bisa masuk SMA favorit, sesuai keinginan kamu. Iya 'kan?"

"Iya, sih, tapi 'kan aku juga mau ikut Mama ke nenek ...," Rifqi berucap melas dibantu wajah imutnya.

"Nggak bisa, Sayang. Kamu sama papa kamu dulu, ya? Nanti, kalau udah liburan semester, baru deh, kamu bisa ketemu sama nenek," Rena mengelus rambut Rifqi penuh sayang.

Meski tidak puas dengan jawaban Rena, tetapi Rifqi tetap pasrah. Seumur hidup, Rifqi tidak pernah membantah ucapan orangtua, terlebih ibunya. Rifqi bertekad, ia tidak akan pernah melakukannya.

"Ya udah, deh, tapi Mama yang harus jemput aku ke nenek!" seru Rifqi, membuat Rena tertawa.

"Iya, oke, deal. Sekarang, Mama mau beres-beres dulu. Kamu belajar lagi, ya,"

Setelah mendapatkan anggukan dari Rifqi, Rena keluar dari kamar anak semata wayangnya itu. Rifqi tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, karena kamar dia dan kamar Rena berbeda lantai. Sudah pasti Rena akan beres-beres di kamar, bukan?

Hanya saja, beberapa menit setelah mamanya menutup pintu kamar, Rifqi mendengar suara vas bunga yang terbuat dari kaca pecah. Bunyinya amat memekakkan telinga, membuat konsentrasi belajar Rifqi buyar dan kemudian memutuskan untuk melihat apa yang terjadi di luar sana.

Betapa kagetnya Rifqi ketika ia melihat dari lantai atas bahwa mamanya sudah tergeletak di ubin lantai dasar dengan darah yang bersimbah dimana-mana. Di jarak yang tidak terlalu jauh dari mamanya, Ronald berdiri, menatap istri pertamanya dengan tatapan kosong.

Rifqi bersegera lari, menuruni satu per satu undakan demi undakan tangga rumah. Ia berjalan menuju Rena yang sudah memejamkan mata. Dengan air mata yang mengalir di kedua sisi pipi, Rifqi bergumam, memanggil mamanya dengan sangat lirih. Tetapi, Rena tak menjawab, membuat air mata Rifqi mulai deras berjatuhan di wajah tampannya.

Tak lama, sura sirene ambulan terdengar. Para petugas membopong Rena ke dalam mobil mereka. Rifqi hendak naik ke dalam mobil, tapi Ronald tidak mengizinkan. Karena tidak mau buang-buang waktu, Rifqi langsung meninggalkan papanya dengan tatapan penuh kebencian. Ia berjalan ke garasi mobil, menyalakan salah satu mobil yang terparkir, dan melajukannya ke Rumah Sakit tujuan.

Sesampainya di sana, Rifqi langsung mencari keberadaan Rena. Ruangannya sudah Rifqi ketahui, maka ia langsung berjalan ke sana. Tetapi, saat hendak masuk ke dalamnya, Rifqi ditahan oleh para suster. Mereka bilang keadaan mamanya kritis dan belum ada yang boleh menjenguk wanita itu.

3 jam lamanya menunggu, akhirnya doker pun keluar dari dalam ruang rawat dan disambut oleh berdirinya 2 orang laki-laki yang tak lain tak bukan adalah Ronald dan Rifqi. Dokter melepaskan kacamatanya dari muka, dan menghela napas berat terlebih dahulu sebelum mengabarkan kematian Rena.

Mata Rifqi memelotot tidak percaya. Meski masih SMP, tetapi Rifqi tidak takut kepada siapa pun yang berhasil menyulut emosinya. Jadilah Rifqi menarik kerah seragam dokter--ini karena tinggi tubuh Rifqi yang menyamai tinggi tubuh dokter--dan berkata, "Jangan main-main! Mama saya nggak mungkin meninggal!"

Ronald berusaha melepaskan tarikan itu, dan dengan tenanganya yang kuat, ia berhasil. Menatap dokter, ia bertanya, "Apa Dokter serius?"

Sayangnya, dokter itu mengangguk. Disertai dengan wajah murung, kabar kematian Rena semakin jelas kebenarannya.

Ini menyakitkan. Sangat menyakitkan, sungguh. Mengetahui bahwa orang yang mengandungmu selama 9 bulan lamanya, bertaruh nyawa demi kamu menikmati dunia, membesarkan kamu dengan penuh cinta meninggal dunia, rasanya tidak ada kalimat lain yang bisa dikatakan selain kalimat menyakitkan.

Kehilangan sosok ibu itu memang menyakitkan. Pesan untuk kamu yang masih punya ibu, tolong jangan buat beliau bersedih. Turuti apa yang beliau bilang dan jangan sekali-sekali membantah apalagi melawannya. Sungguh, kamu akan menyesal di hari kemudian.

Someone Like YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang