12. Tidak Boleh Tahu

1.1K 72 0
                                    

Ternyata, perkataan Rifqi lewat pesan di hari semalam itu benar adanya. Tentang ia yang tak hadir di kelas semalam, dan hari ini ia akan memenuhi tugasnya sebagai seorang pelajar--walau hanya sebatas datang ke sekolah dan masuk ke kelas saja. Rifqi tak bohong pada Sarah. Lagi pun, siapa yang mikir dia bohong? Sarah? Tentu saja tidak.

Memangnya, apa urusan Sarah dengan Rifqi? Atau, lebih tepatnya, apa peduli Sarah terhadap cowok itu? Hm...

Di kelas XI-IPA-1 kini sudah hadir beberapa orang, seperti Bahari, Adit, Rifqi, dan Sarah termasuk di salah satunya juga. Ya, benar. Hanya ada Sarah perempuan di dalam sana. Jangan salahkan Sarah kalau ia diam saja sejak tadi.

Rifqi yang duduk di sebelah Bahari dengan jarak tak begitu jauh dari tempat duduk Sarah, sudah tak kuat menahan diri untuk tidak menghampiri cewek yang sedang menutup wajahnya dengan kedua tangan yang terlipat di atas meja itu. Ia ingin sekali mendatangi Sarah, dan berbicara banyak dengannya. Entah apa yang membuat Rifqi ingin melakukan hal tersebut. Entahlah, Rifqi sendiri tak tahu apa.

"Lo kenapa diem aja, sih, Ki?" tanya Bahari, yang sadar dengan keterdiaman Rifqi sejak dirinya berbicara dengan diri Adit.

Rifqi garuk-garuk kepala, salah tingkah. Padahal kalau ditelaah lebih dalam, tak seharusnya ia salah tingkah. Selain karena ia seorang cowok, hanya ditanya seperti itu kan sudah hal lumrah saat kita diam saja. Aneh, deh.

"Nggak pa-pa, kok. Kalian bicara apa tadi? Gue lagi nggak fokus," jawab Rifqi nggak bohong. Sedari tadi pagi fokusnya memang sudah hilang, ngeluyur ke arah Sarah di depan.

"Bicarain elo yang katanya kemarin balapan sama kak Gio. Emang bener, ya?" Bahari menggunakan jari telunjuk dan jari tengahnya untuk ia gerak-gerakkan ke atas dan ke udara dengan gerakan cepat di udara saat mengatakan kalimat "katanya".

Bahu Rifqi naik, lalu langsung ia turunkan, sebagai tanda bahwa ia mengedikkan bagian tubuh itu. "Ya, begitulah."

"Kok bisa?" kali ini, Adit yang bertanya. Ia memang sudah penasaran tingkat kuadrat dengan apa yang terjadi antara Gio-Rifqi hingga akhirnya mereka melaksanakan perlombaan balap motor.

Sebenarnya, waktu masih duduk di bangku kelas X, Adit pernah diiming-imingi uang sebesar 1 juta rupiah menjadi miliknya jika ia mau berlomba balap motor dengan si Gio itu. Namun, Adit tak menerimanya dengan alasan ia tak lihai membawa motor, padahal alasan yang sebenarnya adalah: Adit takut jika ia kalah, ia akan digebuki massal oleh Gio dkk.

Tak hanya Adit, Bahari dan yang lainnya pun sudah pernah ditawarkan oleh Gio. Namun, dari sekian banyaknya murid di kelas XI-IPA-1 yang ditawari, sampai sekarang hanya satu yang mau menerima tanpa takut, yaitu Rifqi. Maka, jangan salahkan kalau Adit penasaran bagaimana bisa cowok itu berani dengan Gio.

"Ya, bisa-bisa aja, sih." jawab Rifqi, melirik Sarah yang sekarang sudah menegakkan badan dan menarik sedikit kepalanya ke belakang. Hah, anak itu menguping pembicaraan antar pria!

"Ceritainlah, Sayang. Pelit kali kau," ucap Adit melambai, sama persis dengan banci-banci yang ada di kampung halamannya, Medan.

"Bentar-bentar." balas Rifqi, kemudian mengambil ponselnya dari dalam saku celana abu yang sedang ia pakai. Setelah dunia hijau telah ia masuki, langsung saja ia mencari nama seseorang untuk ia kirimkan sebuah pesan.

Ponsel Sarah bergetar, menandakan ada notifikasi masuk ke sana. Tanpa pikir dua kali, Sarah langsung mengambil benda pipih itu dari laci meja di hadapannya.

Rifqi Andrio M : Dilarang nguping. Keluar bentar, boleh?

Sarah Zavenya H : Kok lo tau gue nguping?

Someone Like YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang