23. Sebuah Amplop

761 40 0
                                    

Jalanan kota Jakarta di siang bolong begini terbilang padat, mengingat hari ini adalah hari Minggu, hari di mana seluruh manusia di Indonesia yang bekerja mau pun bersekolah diliburkan sekadar untuk refreshing sebentar. Setidaknya itu yang dapat dikatakan sebagai gambaran dari kondisi jalanan ibukota saat ini ketika seorang lelaki berkaos abu memandangnya dari jendela apartment lantai 3, tempatnya menetap bersama Ibu tercinta.

"Kamu mau ngunjungi Ayahmu, ya?"

Pertanyaan itu membuyarkan lamunan lelaki berkaos abu dari keterdiamannya memandang jalanan di bawah sana. Ia mengangguk, mengiyakan.

Ibunya menghela napas kecil terlebih dahulu sesaat sebelum berkata, "Anya juga mau ikut katanya. Kamu ajak dia, ya?"

Lelaki berkaos abu kembali mengangguk. "Sebelumnya, Mama nggak pernah ngizinin Anya untuk jenguk Ayah, secara Ayah tinggal di penjara," ucapnya mulai membuka suara dengan nada sedikit terdengar bingung, karena sikap Ibunya hari ini terbilang berbeda.

"Itu 'kan dulu, sekarang udah enggak. Lagian, Anya juga harus tahu kondisi Ayahnya gimana, 'kan?" sahut Ibunya lelaki berkaos abu yang tak lain dan tak bukan adalah Messa, sahabat Sania, mamanya Sarah.

"Mama nggak ada niat untuk ngunjungi Ayah juga? Gimana pun juga, Ayah tetep suami sah Mama 'kan?"

Messa terdiam. Secangkir teh hijau yang suhunya masih sangat hangat di tangannya berhenti di udara, tak jadi masuk ke dalam mulutnya. Pertanyaan sekaligus pernyataan anak laki-laki semata wayangnya barusan berhasil menohok diri Messa.

Irsyad Lazario berbalik badan, tidak lagi menghadapkan wajahnya ke hamparan jalanan ibukota. Kini, matanya tertuju tepat ke arah di mana sebuah meja bertemankan kursi yang sudah Ibunya duduki untuk menikmati teh buatannya sendiri.

"Aku ngerti kalau Mama masih marah sama Ayah, tapi tolong, Ma, Ayah juga rindu sama Mama. Ayah selalu nanya kabar Mama, kapan Mama mau dateng ke sana buat lihat keadaan dia, Ayah selalu nanya itu ke aku. Aku cuma bisa bilang kalau Mama baik-baik aja tanpa bisa jawab kapan Mama akan jenguk Ayah. Karena aku bener-bener nggak tahu kapan Mama akan melakukannya," begitu ucapan panjang-lebar Irsyad Lazario kepada Messa.

"Mama butuh waktu, Rio,"

Mendengus geli, Rio kembali berucap, "Mama selalu ngomong begitu. Mama butuh waktu, butuh waktu, butuh waktu. Ini udah lebih dari 5 tahun lamanya Ayah dipenjara, Ma. Dan Mama masih bisa bilang Mama butuh waktu? Siapa yang mengambil waktu sebanyak 5 tahun itu, Ma?"

"Irsyad--"

"Cukup, Ma. Aku ngerti perasaan Mama dan seterusnya akan tetap begitu," sela Irsyad Lazario. "Hanya saja, Mama kurang mengerti perasaan aku dan juga Ayahku. Hanya itu."

"Rio--"

Lagi dan lagi, ucapan Messa disela oleh anaknya. "Oke, 30 menit lagi waktu untuk kunjungan. Aku mau cerita banyak sama Ayah. Kapan-kapan aja aku bawa Anya ke sana, jangan sekarang." Irsyad Lazario mengambil langkah pertama untuk keluar dari ruang tamu apartment, tetapi ia berhenti dan bertanya pada Messa, "Mama mau titip pesan untuk Ayah?"

Messa diam di tempat, tidak menjawab pertanyaan anaknya.

Menyerah, Rio mendengus napas pasrah. "Aku anggap nggak ada pesan yang mau Mama sampaikan ke Ayah. Yah, tidak akan ada pernah pesan untuk selama-lamanya, bukan?"

Bertemankan langkah kaki Irsyad Lazario meninggalkan ruang tamu, lalu disusul pintu apartment yang terbuka dan tertutup, Messa masih terdiam.

Kapan semuanya akan berakhir? Berakhir bahagia, seperti apa yang selama ini Messa inginkan.

[ SOMEONE LIKE YOU ]

"Kamu datang menjenguk lagi, Rio? Rasanya baru kemarin kamu ke sini" menjadi kalimat pertama yang Irsyad Lazario dengar saat ia masuk ke dalam penjara.

Someone Like YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang