7. Tapi cuma Dare!

1.6K 103 8
                                    

Edited.

Suara kokokan ayam dari arah luar jendela kamar Sarah, berhasil membuat gadis yang tubuhnya sedang dibaluti selimut tebal bercorak bunga-bunga penghalau rasa dingin karena suhu AC di kamarnya kini terbangun.

Sarah membuka matanya bersamaan dengan mulutnya yang menguap. Cahaya mentari yang sudah terbit dari ufuk Timur mampu membuat matanya menyipit karena silauannya. Sekarang memang sedang musim kemarau di wilayah kota Jakarta, maka jangan heran kalau pagi-pagi saja cuacanya sudah terik begini.

Seperti orang-orang bangun tidur pada umunya, Sarah merenggangkan otot—yang entah ada atau tidak—tangannya saat ia sudah mengubah posisi dari meringkuk menjadi duduk di atas kasur sekarang.

Sudah beberapa kali Sarah menguap, tetapi rasa kantuknya tetap tidak mau hilang. Boleh jadi ini karena makan malam semalam, yang baru pulang pukul setengah 10. Itu pun Sarah harus belajar terlebih dahulu sebelum benar-benar tertidur pulas. Ternyata, mengobrol dengan Rifqi begitu mengasyikkan meski pun belum terlalu dekat dengannya—setidaknya itulah persepsi Sarah saat makan malam kemarin berlangsung.

"Gue minta maaf ya, tadi pas di sekolah, gue main narik-narik lo aja. Padahal pas udah sampai di halaman belakang, gue nggak ada ngomong apa-apa." Begitu kata Rifqi, ketika dirinya dan Sarah selesai meneguk jus mereka masing-masing hingga habis tak bersisa.

Sarah mengangguk. "Nggak apa-apa, kok. Lagian, kenapa lo narik gue tadi?" tanyanya, masih bingung dengan tingkah Rifqi yang tadi siang menariknya secara langsung—tanpa penjelasan sama sekali.

Rifqi mengedikkan kedua bahunya. "Gue juga nggak tahu kenapa. Gue ngelakuin hal itu secara spontan, karena sama sekali gue nggak ada niat untuk melakukannya sebelumnya. Aneh, 'kan?"

Alis sebelah kanan Sarah terangkat sendirinya. "Ya, kedengaran aneh, memang. Karena yang gue tahu, seseorang melakukan sebuah tindakan harus ada sebabnya. Nah elo, sama sekali nggak ada, dan itu aneh."

"Nggak tepat kalau dibilang nggak bersebab. Gue-nya aja yang nggak tahu apa sebabnya. Begitu lebih tepat." Ralat Rifqi.

Sarah hanya mengangguk, mengiyakan saja.

Sampai sekarang, Sarah masih penasaran dengan sebab yang bahkan Rifqi pun tidak tahu apa. Bagaikan...jika Sarah tidak tahu apa sebabnya, hidup cewek itu seperti ada yang kurang, padahal itu terdengar terlalu berlebihan. Benar, bukan?

Bukan.

Ah, ya sudahlah. Untuk apa repot-repot merenungi rasa penasaran? Rata-rata orang yang penasaran terhadap sesuatu akan mengetahui jawaban dari rasa penasarannya sendiri. Tak perlu takut untuk tidak tahu—atau terlambat tahu.

Sarah bangkit dari duduknya di atas kasur, kemudian melangkah setengah malas ke kamar mandi yang ada di kamarnya dan mulai bersemedi di sana—kali ini lumayan lama, mengingat Sarah sangat menyukai air dingin menyentuh tubuhnya.

Selesai mandi, Sarah melakukan kegiatan sehari-harinya; memakai seragam sekolah ke tubuh rampingnya. Hari ini hari Jum'at, itu berarti seluruh siswi beragama Islam SMA Negeri 1 Jakarta Pusat harus memakai kerudung mereka ke sekolah, karena mereka akan melaksanakan Binamental yang rutin dilakukan sekali dalam seminggu—tentu pada hari Jum'at.

Tak terkecuali dengan Sarah. Cewek itu ingat, ia belum menyetrika kerudung coklatnya dari hari kemarin—padahal Sania sudah mengingati. Sarah kelimpungan, sejak beberapa menit yang lalu, ia sudah mengobrak-abrik isi lemarinya hanya untuk menemukan sebuah kerudung berwarna coklat polos. Namun, nihil hasilnya. Kerudung itu tak ia lihat sama sekali keberadaannya.

"Lo cari ini?" suara Serly bertanya terdengar.

Sarah mengalihkan penglihatannya dari lemari ke arah Serly, yang kini berdiri di antara dinding dan pintu kamar Sarah. Matanya langsung memelotot begitu melihat benda yang dari tadi ia cari ada di tangan Serly, adiknya sendiri.

Someone Like YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang