[17] - Hanya Ada Satu Cara

3.5K 201 11
                                    

Ify menunduk, menghirup udara di sekitar, bahkan dia tak tahu apa masih ada oksigen yang tersisa. Helaan napasnya sangat keras, mengalahkan suara trompet pawai.

Televisi masih menyala dan berseru, tapi dia tak menghiraukan apa yang dilakukan orang-orang kecil di dalam gambar itu. Dia hanya berpikir.

Apa itu kristal?

Dia berdecak dan mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit rumahnya yang tampak usam. Setelah kemarin dia melihat kalimat itu di lengan almarhum Debo, dia langsung meminta ijin pulang dan dia juga sempat membentak karena Sivia menahan tangannya ketika menuju pintu keluar.

Orang tua almarhum Debo yang terisak saja bisa menghentikan isakkannya dan mengizinkannya pergi.

“Ironis ... “ gumamnya.

Suara benturan halus lantai terdengar. Ify dengan cepat menoleh.

Bola bekel sedang terpantul di tengah ruangan yang mulanya tinggi mulai merendah. Ify mengernyit dan menghampiri bola itu, bola itu meloncat-loncat hingga ke anak tangga dan menaikinya. Ify hanya mengikuti bola itu, pasti energi Potensialnya akan menetap di angka 0 dengan sendirinya.
Bola itu semakin rendah pantulannya dan mulai bergelinding ketika sampai ke puncak tangga. Bolanya membentur dinding dan masuk ke dalam kamarnya. Ify cepat-cepat masuk ke dalam kamarnya, sudah dia duga, bola itu menghilang dari pandangannya, pasti ada di kolong-kolong di kamarnya.

Dia memeriksa setiap kolong yang ada: Lemari, meja belajar dan dia masih tak menemukan apa-apa. Dia mengacak-acak rambutnya.

“Ah!” soraknya.

Dia mendekat pada kasurnya dan mulai mengintip kolongnya dengan perlahan. Anak sekolah dasar terlihat meringis di sana. Ify lekas bangkit dan terhuyung mundur, suatu benda dia injak tepat di depan pintu kamarnya yang terbuka, membuatnya jatuh dengan posisi kepala dahulu yang terbentur.

Benda bulat yang dia injak itu terpantul kembali. Bola itu. Bola itu terpantul ke arah dimana arah Ify memandang, Ify lekas berdiri, kepalanya pusing, sakit dan nyeri. Tapi, ada sesuatu yang membuatnya ingin meraih bola itu. Ify semakin dekat dengan bola itu dan bola itu meloncat keluar dari jendelanya yang terbuka. Ify yang masih terhuyung meletakkan kakinya jendela secara bergiliran dan sebalah kakinya siap melangkah kembali dari ujung kusen jendela.

“IFY SADAR!”

Ify tersadar dan ketika dia melihat ke sekeliling, dia telah terjun dari jendelanya.

Bruk!

Suara yang parau menjadi suara yang terakhir dia dengan setelah sbelum tak sadarkan diri.

***

Hanya dua kata yang bisa dia rangkai untuk saat ini, Sangat sakit. Dia membuka matanya perlahan. Sekarang, apa yang terjadi?

“Gila,” ujar seseorang yang dia sangat kenal, Rio.

Dia menoleh ke arahnya. Rio sedang memeras kain setelah dia mencelupkannya ke dalam air di wadah plastik yang lebih kecil, kain itu dia tempelkan ke tangan Ify yang lebam.

Nyawanya kini telah berkumpul dan dia baru sadar sesuatu, kepalanya yang sakit akibat terbentur sekarang sedang dikompres dengan air dingin. Ify cepat-cepat bangkit ketika dia memperhatikan lingkungan sekitarnya, “Ini dimana?!”

“Selamat datang di dunia!” soraknya yang nampak kesal sambil memeras kain yang telah dia ceburkan kembali. “Ini di rumah lo!”

“Gak! Ini bahkan lebih mirip, UKS sekolah!”

“Lo ngomong apa? Ini rumah lo!”

Ify berdecak, jelas-jelas ini UKS sekolah. Ify tanpa segan-segan bangkit dari ranjang dan keluar dari ruangan itu. Rio mengernyitkan dahi, ketika Ify bangkit dari sofanya dan menuju ke arah dapur.

“Tolong!”

Ify terdiam, seseorang berlari di hadapannya, entah karena apa. Ify membuntutinya. Ify terus memperhatikannya di setiap langkah. Dia berhenti dan memutuskan untuk masuk ke ruang kelas, Ify hanya mengikutinya.

Dia tampak lelah dan terdiam sebentar dengan napas yang berusaha dia atur, dia menoleh ke kanan dan kiri, mencari sesuatu, sebelum dia menoleh ke belakang. Gadis itu— menggunakan seragam yang sama dengan sekolah Ify—tersentak, Ify juga ikut kaget ketika dia menoleh. Dia panik sekerikseketika duduk dan menyeret dirinya seperti menghindar dari Ify.

Ify mendekat ingin menenangkan, tapi justru dia malah bersorak, Ify tak bisa mendengar perkataannya ataupun suaranya. Dia bergegas meraih tasnya yang dia kenakan dan menjatuhkan semua isinya ke lantai dengan panik, lalu mengacak isinya yang berserakan dan mengambil penggaris besi yang terlihat. Lalu menyondong-mencondongkannya ke Ify, sepertinya dia mengancam atau sejenisnya dengan bibir yang terbuka lebar itu.

Gadis itu malah semakin mendekat dan Ify terpaksa harus mundur karena penggaris itu terlihat keras dan bisa menusuknya dengan mudah. Dia mulai membentak dengan tak bersuara dan menunjukkan kalung berliontin ... Kristal.
Ify membulatkan mata. Ify mendekatinya, tak peduli dengan penggaris besi itu, dia hanya ingin tahu apa kristal itu benar bisa menutupnya atau tidak.

“Gue gak bakal serahin ini ke lo! Ini hanya satu-satunya cara buat nutup pintu antar dimensi!”

Kini Ify bisa mendengar suaranya yang membuatnya tak fokus, penggaris itu sekarang sudah membidik bagian perut Ify.

“IFY SADAR!”

Deja ... Vu? Batin Ify yang lagi-lagi mulai tersadar.

Rio berlari ke arahnya. Mungkin dia benar-benar gila, dia dengan mata terbuka lebar tapi tatapannya kosong dan sedang memegang pisau yang menuju ke arah perutnya sendiri. Rio menendang lengan Ify yang menggenggam pisau yang jaraknya sudah kurang dari 7 cm.

Ify tersadar, dia merosotkan tubuhnya ke lantai, dia tak mampu menopang tubuhnya terhadap gravitasi yang seketika berat untuknya.

Rio menghampirinya mengelus tangannya yang tadi dia tendang dan memeluknya. Tubuhnya gemetar, tarikkan napasnya berat dan tendangan Rio memperburuk kondisinya. Rio melepaskan pelukannya menyuruh Ify terlentang di pangkuannya berapa menit berlalu, Ify masih belum tidur, tapi kondisinya membaik.

“Hei,” ujar Ify.

“Hem?”

“Gue tau,”

Rio menyatukan alisnya, “Tau apa?”

“Satu cara buat nutup gerbang demensi.”

“Apa itu?”

“Ini hanya satu-satunya cara. Cara itu adalah dengan kristal."

Rio tersentak dan terdiam. Ify terkekeh pelan dengan reaksi Rio yang menurutnya lucu, itu terlalu berlebihan untuk mengapresiasikan hasil perjuangan Ify yang mempertaruhkan jiwa. Ify menggesek hidungnya dengan jari telunjuk, bangga.

“Lo tau dimana kristalnya?”

“Yap, kayaknya gue tau dimana tempat kristal itu ada.” Ify bangkit dari pangkuannya dan merentangkan tubuhnya yang mulai kaku. “Oh, ya. Lo kenapa kesini?”

“Bukan apa-apa. Tapi, gue kemarin khawatir kalau misalnya Sivia kerasukan atau sejenisnya.”

Ify mengangguk dan segera berlari kecil menuju ruang tamu, lalu keluar dari sana jaket yang melekat sembari menepuk-nepuk jaketnya yang berdebu dia melirik ke arah Rio, kemudian berdecak keras.

“Lo lagi apa? Cepat bangun dan jemput kristal itu bareng gue.”
Mario tersentak, dia cepat-cepat bangun dan menyusul Ify yang sudah bergerak menuju pintu keluar dengan hati-hati.

School In AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang