[22] Agenda

1.5K 115 0
                                    

"Melly?" Rio mengernyit menemukan namanya terdapat disurat itu.

"Hah?" gumam Sivia, Alvin dan Shilla tak seirama.

Rio menaikkan alisnya, acuh. Rio melipat kertas itu dan menyelipkannya kembali ke buku agenda. "Lebih baik kita keluar dulu dari sini."

Mereka mengangguk setuju. Sungguh tak nyaman di sana, seperti ada yang menatap mereka dari tadi dan membuat bulu kuduk mereka berdiri, tatapan yang mungkin berasal dari sisi ruangan yang tak terdapat cahaya. Mungkin, dia atau mereka yang tak kasat mata yang melihat dari kegelapan sekarang.

Mereka mendekati anak tangga dan bersiap menaikinya. Alvin berhenti, dia baru ingat kalau lampunya masih menyala.

"Ify, biasanya lo yang berani. Jadi, mati'in lampu-" Alvin berhenti sebentar, menatap segerombol temannya. Tak ada gadis bermana Ify di antara mereka. "Ify mana?"

Semua tersentak dan buru-buru memeriksa sekeliling dengan panik. Suasana sepi selalu jadi bertanda buruk. Sungguh, mereka yakin bahwa Ify ikut masuk ke dalam, jelas-jelas dia masuk setelah Sivia dan sebelum Alvin, mereka melihatnya dengan jelas. Tapi, mereka juga baru menyadari ketika mereka telah sampai dasar mereka tak mendengar suaranya ataupun melihatnya meski hanya sedetik.

"Ify!! Ify lo dimana!" sorak Sivia gelisah. Berusaha mengeluarkan suara menggelegar agar Ify mendengar dan setidaknya membalas dengan satu huruf. Tapi dia tak kunjung memberikan jawaban.

Mereka meneriaki namanya berulang kali, hingga lampu mati sendiri.

Dheg.

Habis sudah keberanian mereka. Cepat-cepat mereka berlari secepatnya menuju ujung anak tangga. Sivia yang berada di depan kini, terbentur sesuatu yang keras. Dia mengaduh kesakitan dan mengusap kepalanya. Dia dengan ketakutan lekas meraba-raba apa yang di atasnya, tekstur yang lumayan halus. Dia mengetuknya, suaranya bagai daun pintu yang terketuk. Masih tersisa beberapa anak tangga dan dia sudah tak bisa naik lagi, ini berarti ....

"Sivia cepetan! Ada yang merangkak di belakang ke arah gue! Meski itu masih jauh tapi, ke arah gue!" Sorak Alvin gelisah.

"Ini lantai! Ketutup! Gak ada jalan keluar!" Ujar Sivia panik dengan terus berusaha mendorong lantai itu.

Semuanya tersentak, Alvin menjadi gelisah tak karuan. Ada yang merangkak menuju ke arahnya, itu benar adanya. Alvin menoleh ke belakang, dia semakin dekat dan bunyi aneh keluar darinya. Alvin bergidik ngeri.

"Sivia!" soraknya yang sudah muak dengan ini semua.

Sivia tambah gelisah. Dia sudah sekuat tenaga mendorong kayu yang menghalaunya, tapi seakan ada yang menahannya di atas. Shilla membantu Sivia mendorong kayu itu, tapi tetap tak bergerak sedikit pun. Alvin melepas sepatunya dan melempar random sepatunya itu ke arah bunyi yang keluar, kena tak kena sepatunya tak akan kembali. Alvin segera berbalik dan membantu mereka mendorong benda yang mengalangi itu. Rio terhuyung karena Alvin yang tiba-tiba bergegas mendahuluinya dan mengenai bahunya. Rio yang tak harus apa, ikut mendorong.

Krekk.

Kayu itu mengeluarkan suara rapuh. Cahaya mulai menembus dari sela-selanya. Mereka sekuat tenaga mendorongnya dengan kuat-kuat, terbuka sedikit lagi. Dan dorong-dorong-dorong.

Brugh!

Terbuka seutuhnya. Mereka buru-buru keluar dan segera meninggalkan gudang dengan paniknya. Mereka berlari menuju kelasnya dan menutup pintu dengan tenaga yang tersisa hingga bunyinya berdengung di telinga.

Sivia duduk di kursi guru dan menetralkan napasnya, sedangkan Shilla duduk di atas meja dan melakukan apa yang dilakukan Sivia. Alvin bersandar di pintu dan Rio menyandar di dinding kelasnya. Lelah. Jantung mereka lelah terus mengompa tanpa jeda yang pasti. Diam sebentar dan jangan bergeming itu lebih baik untuk saat ini.

Rio tak sependapat, dia membuka kembali agenda itu dan mengambil ketas itu lagi dan membacanya dalam diam. Shilla berdecak kagum nan pelan, Rio hebat sekali masih bisa bergerak meski tenaganya terkuras, apa pentingnya kertas itu?

Sivia bangkit dari duduknya dan memindahkan bokongnya di samping Rio, dia juga membaca tulisan yang terdapat dalam kertas atau lebih tepatnya surat. Apa pun itu, itu membuat penasaran. Apa isi surat itu hingga membuat Sivia syok bukan main dan Alvin ikut mendekat lalu membacanya. Perlahan-lahan raut wajahnya yang penasaran jadi raut ketakutan.

Shilla menghampiri Rio dan suratnya. Dia membacanya juga dalam diam.

Ah, dugaannya salah. Itu bukan seutuhnya tulisan, melainkan gambar yang mengenaskan. Diawali gambar terdapat 2 anak perempuan dan 3 anak lelaki, mereka memainkan papan dan tiba-tiba saja langsung kebagian salah satu anak lelaki berambut agak panjang dari pada cowok lainnya itu tertancap gunting. Di lanjutkan lagi anak perempuan berambut pendek yang tertarik rambutnya dan kulit kepalanya terkelupas. Gambar berikutnya, menunjukkan anak lelaki yang tergeletak dan Shilla rasa cairan yang ada di sampingnya itu darah. Ada dua gambar lainnya tapi nampak kabur seperti berusaha terhapus paksa. Dan gambar terakhir, anak perempuan berambut panjang yang berada di tengah-tengah gambar bintang dan terdapat orang berjubah sedang berdiri di sampingnya dengan benda di genggamannya, Shilla tak bisa melihatnya dengan jelas karena kabur di bagian itu.

Setiap adegan terdapat tinta merah, mulai dari tangan untuk gambar pertama, kulit terkelupas untuk gambar kedua, genangan di sekeliling untuk gambar tiga dan tapi nihil untuk gambar empat, lima dan enam.

Shilla menyatukan alis, ada yang ganjil di antara gambar itu. Shilla memalingkan pandangannya dan teman-temannya sudah menjauh dari kertas ini. Shilla kembali mengingat apa yang ganjil. Jeda beberapa lama dan Shilla mengetahui jawabannya.

Adegan tragis mereka.

Shilla tiba-tiba saja gemetar, dia ingin menjauh tapi tenaga yang ia berusaha pulihkan terkuras kembali. Kejadian yang mereka alami, persis sama yang di ceritakan Debo padanya. Ini mengerikan, Shilla dapat mengerti dengan jelas gambar jelek itu, dia tak ingin melihat gambar itu lagi. Oh, Shilla masih ingat jelas, tulisan yang tertulis di akhir gambar, besar dan indah, namun tinta yang di kenakan tak enak dilihat. Tinta merah tua, bagai darah yang sudah kering. Melly.

Kringgg ... Kringgg ....

Berdering, suara berdering dan cahaya keluar dari saku celana Alvin. Alvin mengorek sakunya dan mengeluarkan smartphonenya. Jelas-jelas sudah melarangnya membawa benda terlarang di seluruh sekolah di negeri ini, tapi dia dengan nekat membawanya, lalu kalau tak salah dia ketua OSIS. Alvin yang nampak bodoh dan cerewet adalah ketua OSIS, Shilla saja tak percaya mendengarnya dari kepala sekolah ketika dia mendaftar sekolah ini.

Dia menggeser tombol hijau itu.

"Hallo?"

"I-Ify?"

Mereka sekejam membulatkan mata mendengar nama yang alvin sebut dengan paraunya.

School In AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang