[19] come

2.9K 164 14
                                    

“Alvin?!” Ify bersorak kaget, jantungnya seperti ingin meloncat keluar, tapi tak bisa dipungkiri, Ify sungguh senang karenanya. “Lo ke mana aj—”

“Sttt!” potong Alvin cepat-cepat dengan mendesis yang di temani jari telunjuk di depan bibirnya, mengisyaratkan agar Ify tenang sebentar.

Mereka diam kurang dari semenit, tak ada suara selain napas mereka yang terengah. Alvin mengibas-ngibaskan tangannya, memberi isyarat agar Ify memperbaiki posisinya dan melepaskan genggamannya dari kerah baju Alvin. Mereka duduk bersampingan, masih dengan tak ada suara.

Ify menatap Alvin yang berusaha menyelidik dengan telinganya. Alvin sehat seperti terakhir kali bertemu, kali ini Ify bisa menghela napas lega yang tiba-tiba Alvin mendesis kembali, menyuruh Ify tetap diam. Sebenarnya kenapa Ify harus diam? Dan itu hanya helaan napas, bukankah terlalu berlebihan.

“Ify, gue udah ketemu Rio kemarin.” ucap Alvin berat, yang seakan dia sedang melempar batu yang lebih besar dan menimbulkan rasa sakit di bandingkan yang tadi kepada Ify.

Kenapa Rio saja? Kenapa tak langsung bertemu dengan mereka bertiga secara bersamaan? Ify memejamkan matanya sesaat, dia letih melihat keadaan sekitar yang selalu membuatnya tersakiti.

“Katanya kalian akan cari gue, terus menyelesaikan apa yang di perbuat.” lanjutnya.

“I-iya. Karena lo udah balik, jadi bagaimana kalau malam ini—”

“Apa gue harus ngilang lagi? Gue sebenernya udah cape bersembunyi di balik bayangan, melihat apa yang kalian lakuin satu persatu, kayak penguntit, itu agar kondisinya gak semakin buruk.” Alvin kembali memotong Ify dengan tangkas.

Alvin mengacak rambutnya, perasaannya kacau dan tak karuan. Ify tak mengerti apa yang dia maksud, kecuali dia selalu memperhatikan kami dari bayangan dan itu cukup melegakan, Ify kira dia hanya peduli dengan sahabat karibnya yang bernama Rio saja.

Ify menepuk pundak Alvin. “Alvin, ayo selesaikan semuanya sekarang.”

Alvin menatap Ify, matanya memancarkan kekhawatiran yang menusuk hati. Alvin hanya tersenyum lalu bangkit berdiri, menepuk bagian belakang celananya yang dia pikir kotor dan melangkah ke ambang pintu. Sebelum dia pergi sepenuhnya, dia berkata.

“Hati-hati, gue pastikan masalah ini akan selesai. Tapi, bukan sekarang. Dan gue tau rencana lo.”

Ify kaget sekaligus resah. Dia tahu? Ify terdiam beberapa saat. Tak bergeming sedikit pun. Hanya melihat punggung Alvin yang perlahan menjauh yang meninggalkan rasa senang dan resah disaat bersamaan.

“Dia tau.”

***

“IFY!”

“Hah?” Ify tersadar dari lamunannya.

Sejak tadi dia hanya memikirkan perkataan Alvin yang terus berkeliling dikepalanya, hingga dia tak sadar bahwa apa yang sedang terjadi di sekitarnya atau pada dirinya sendiri.

Meski bell masuk telah berbunyi sejak 7 menit lalu, mereka bertiga tidak saling bicara. Meskipun kini Sivia sudah pindah tempat duduk di depan mereka (Ify dan Rio) sejak pelajaran pertama hampir di mulai, tapi dia tak berbicara sedikit pun. Guru yang seharusnya mengajar tidak ada di dalam kelas dan kelas ini menjadi sepi, seakan tak ada kehidupan, padahal makhluk hidup masih banyak yang bernapas di sana.

Pintu terbuka, mereka bertiga secara bergiliran menoleh melihat ke arah pintu. Alvin berdiri di ambang pintu, menggendong tas ranselnya yang terlihat ringan. Dia menutup pintu kembali dan berjalan ke arah mereka (Ify, Rio dan Sivia). Dia menyuruh gadis di sebelah Sivia untuk pindah tempat duduk, agar dia bisa duduk di samping Sivia. Gadis itu mengangguk pelan, tak ada penolakan sama sekali dan menggenggam tasnya ke tempat lain. Alvin melempar tasnya ke atas meja dan mendaratkan bokongnya di kursi.

Sivia menutup mulutnya dengan kedua tangan, dia tak percaya Alvin ada di sebelahnya, tangannya bahkan sampai gemetar tak karuan. “Al-Alvin?”

Alvin yang sedang membereskan barang-barangnya di dalam tas, dengan matanya yang masih terfokus pada tas dia menjawab. “Ya?”

Sivia mengulurkan tangannya yang gemetar menuju wajah Alvin, sementara Alvin masih sibuk. Sivia mengganti haluan tangannya ke arah bagian atas tangan Alvin dengan cengkeraman yang kuat. “I-ini lo! Lo sehat! Lo ke mana aja?!” ucapnya sambil menggoyang-goyangkan dan melihat sekeliling tubuh Alvin. “Rio! Ify! Lihat, Alvin kembali!” Sivia menoleh ke sepasang kursi di belakangnya.

Ify dan Rio tersentak, mereka salah tingkah.

“A—ah, A-Alvin lo sehat, ya.” ujar Rio kikuk.

“I-iya, ya. L—lo udah sarapan?” tambah Ify.

Sivia menyipitkan matanya. Bagaimana juga, itu bukan sapaan yang wajar untuk bertemu orang untuk sekian lama. Sivia perlahan-lahan mulai memandang bergantian ke tiga temannya secara membabi buta.

“Kalian udah ke temuan ya, sebelumnya?” tanya Sivia dengan tatapan mendalam, mengorek semua informasi yang bisa dia gali.

“Gya! Be-belum!” Ify kaget mendengar pertanyaan Sivia, nadanya terlalu cepat dan Sivia tahu kalau dia bohong.

“Iya, be—lum.” jawab Rio nada bicaranya melambat. Lagi-lagi Sivia tahu temannya bohong.

“Belum.” lanjut Alvin dengan wajah yang datar dan tanpa ekspresi, yang membuat Sivia mengernyit melihat wajah Alvin. Dia bohong.

“Kapan kalian ketemu? Kok gue gak diajak?” tanya Sivia kembali menyipitkan mata.

“Lo beruntung ke temuannya secara baik-baik. Gue ketemu dia tadi pas nunggu kalian dan dia ngelempar kerikil random begitu.”

“Sabar Fy,” Rio menepuk-nepuk pundak Ify menenangkan temannya yang terlihat trauma dilempar kerikil. Rio memfokuskan kembali tatapannya pada Sivia. “Kalau gue pas pulang dari rumah lo, dia tiba-tiba muncul dari semak-semak, kaya kucing garong.”

Ify menepuk-nepuk pundak Rio sebagai rasa prihatin sesama teman, sementara Rio mengelus dadanya menyabarkan diri menghadapi teman seperti itu. Sivia menoleh dengan sebelah alis yang diangkat, bibirnya salah sudut diangkat dan ekspresinya sulit diungkapkan dengan kata-kata, yang seperti bicara; Lo apain mereka, bro?

“Oke, udah ini udah out of topic. Jadi, bagaimana gunain kristal itu buat nutup gerbangnya?” tanya Alvin yang mulai serius.

Ify membulatkan mata. Dia tak tahu bagaimana menggunakan kristal itu, dia hanya tahu kalau kristal itu yang akan menyelamatkan mereka dari malam petaka. Ify menggeleng hati-hati. Mereka berdecak dan bahkan Sivia memukul keningnya.

“Kalau kayak gini, belum tentu selesai kalau kita ke sekolah pas malam hari, dong.” Sivia angkat bicara dengan rasa kesal yang terkontrol.

“Terus ini gimana ceritanya, Fy?” tanya Alvin yang juga kesal atau kebodohan temannya yang satu ini.

Pintu terbuka dengan suara engselnya terdengar. Mereka cepat-cepat membubarkan diskusinya dan memutuskan akan melanjutkannya nanti. Pak Sarip masuk tatapan kosong seperti siswanya dengan gadis di belakang yang mengikutinya.

Pak Sarip menaruh tas hitamnya yang tak berat di atas meja guru. “Kabar baik, ada siswa baru yang akan belajar dikelas kita. Silakan perkenalkan diri.” ucap Pak Sarip yang kemudian duduk di kursinya.

Gadis itu mengangguk dan mengemut lolipopnya di dalam mulutnya yang senyum miring.

School In AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang