[30] Misteri

1.1K 87 6
                                    

Sivia yang sedang terbaring kaget mendengar namanya disebut dengan kerasnya. Cepat-cepat dia bangkit dari ranjang di sebelah Alvin dan menghampiri Shilla yang terfokus dengan papan tes yang dia pegang.

"Kenapa?!" tanya Sivia panik.

"Baca!" Shilla mencondongkan papan tes itu.

Kertas pertama yang terkait di papan itu, sudah Shilla tarik ke belakang papan. Sivia dengan jelas bisa melihat huruf-huruf yang berjejer dengan sedikitnya.

Tersembunyi dalam sebutan yang menjelaskan segalanya

Sivia mengernyit. Tak tahu apa arti dari kata-kata tersebut. Sivia melirik Shilla sebentar, namun Shilla hanya membalasnya dengan gelengan kepala. Sivia kembali lagi mengamati kata-kata itu dalam diam.
Tersembunyi dalam sebutan yang menjelaskan segalanya? Batin Sivia berpikir.

Sivia meletakkan papan tes di atas meja yang sama. Alisnya menyatu memikirkan kata-kata tersebut. Shilla menopang pipinya dengan lengan, memikirkan hal yang sama.

Pasti ini petunjuk, entah buat apa. Tapi Sivia yakin ini petunjuk. Sivia mengingat-ngingat lagi kata-kata itu, mencari sesuatu yang menjadi pencerah pertama di dalamnya.

Tunggu ... Sivia menggeserkan papan itu menghadapnya. Tersembunyi dalam sebutan yang menjelaskan segalanya?

"Sebutan?" gumanya pelan yang terdengar jelas di ruang sepi yang hanya suara dari dentuman jarum jam dan napas mereka.

Shilla mendongak ke arah Sivia yang serius berpikir.

"Haus ... " suara merengek terdengar. Suara yang tak asing di telinga mereka, Alvin.

Shilla buru-buru mengambil gelas plastik berisi air mineral—tentu dengan sedotannya—di kardus di bawah kolong meja dan menghampiri Alvin dengan cekatan. Pundaknya kembali normal. Seakan tak terjadi sesuatu. Namun kondisi mentalnya tak sebaik seperti sedia kala. Dia terlihat rapuh, mukanya pucat, bibirnya kering dan energinya terkuras.

"Haus .... " sekali lagi dia merengek.

Shilla lekas menusukkan sedotannya pada gelas plastik itu, lalu mencondongkannya ke depan bibir Alvin. Alvin dengan lemah mengempit sedotan kecil itu di antara kedua kelopak bibirnya. Dia menghisapnya hingga tersisa setengah, lalu membaringkan dirinya lagi ke ranjang.

"Lo udah baikkan?" tanya Shilla sembari menaruh gelas plastik itu di bawah ranjang.

"Ya, mendingan."

Suara langkah kaki terdengar jelas di dalam ruang yang hanya berisi bunyi dentuman jarum jam, napas menerka dan dialog yang telah berakhir.

"GUE TAU!"

Shilla mengernyit pada orang di sampingnya yang baru datang.

"Kenapa?" tanya Shilla.

"GUE—TAU!"

"Iya, apa?"

"Itu tentang, 'Tersembunyi dalam sebutan yang menjelaskan segalanya.'!"

"Lo itu kenapa sih? Dateng-dateng berisik gak J. Lo abis makan curut ya?" cetus Alvin.

"Iihhh! Gue gak makan curut! Tadi Shilla nemu kertas bertulis 'Tersembunyi dalam sebutan yang menjelaskan segalanya.' dan gue tau apa artinya sekarang!"

"Terus?"

"Sebutan! NAMA! Tersembunyi dalam sebutan. Sebutan dalam kalimat itu artinya nama!"

"Apaan sih? Kok gue gak ngerti."

"Ah, Shilla mah lola! Coba perhatikan! Tersembunyi dalam sebutan, gue bilang kalau sebutan itu nama dalam kalimat itu. Bukannya udah jelas artinya!"

Shilla mencoba berpikir, setidaknya mengerutkan kening seolah memikir. Meski kenyataan pahit kalau keadaan kepepet otaknya gak nyambung sama sekali. Tapi, Alvin sudah terlebih dahulu menjawabnya.

"Maksud lo, 'Tersembunyi dalam nama yang menjelaskan semuanya'?" Alvin bangkit dari posisi berbaringnya dengan kepala yang masih pusing sehingga dia memegang kepalanya ketika mengganti posisinya menjadi duduk.

"BINGO! Sumpah gue greget."

"Nama? Nama siapa?" tanya Alvin lagi sambil membenarkan duduknya yang agak kurang nyaman dengan tangan yang sudah dia lepas dari kepalanya.

"Ha'ah, dan itu dia masalahnya, gue juga gak tau nama siapa."

"Bagaimana kalau kita ke ruang guru? Di situ pasti ada daftar nama-nama. Mau ke sana?" tawar Shilla dengan jari telunjuk dari ke dua tangannya yang menunjuk ke pintu UKS dan meliriknya sebentar menujunya.

Sivia dan Alvin mengangguk.

"Tumben encer." puji Sivia yang setengah ledekkan karena senyum meremehkan darinya.

Alvin menurunkan kakinya yang terbalut sepatu ke lantai hingga menapak. Dia berpikir, kenapa mereka tak membuka sepatunya? Seharusnya mereka membuka sepatunya dulu ketika sudah membaringkanku. Tapi, ya sudahlah. Syukur-syukur mereka mau menolong Alvin. Alvin kembali memegang kepalanya yang pening sedikit, Shilla menolongnya dengan memegang tangan yang sebelahnya lagi agar tak terhuyung jatuh.

Alvin perlahan-lahan melepas pegangannya pada Shilla dan berjalan normal. Sivia berjalan terlebih dahulu, lalu Alvin yang di belakangnya terdapat Shilla mengikutinya bagaikan ekor.

Saat mereka sudah sampai di ambang pintu. Sivia berhenti dan menumpuk dahinya sembari berdecak, dia berbalik arah ke meja pengawas. Membuka jepit di papan tes, mengambil kertas yang berisi tulisan, lalu melipatnya dan menaruhnya di saku baju seragam. Cepat-cepat Sivia menyusul Alvin dan Shilla ketika telah selesai dengan urusannya dan pergi bersama ke ruang guru.

Ruang guru dengan UKS sebenarnya tak terlalu jauh. Hanya berjarak 200 meter dari UKS sehingga perjalanan mereka tak terasa.

Alvin membuka pintunya. Sekilas Alvin melihat mayat Debo tergantung di tengah ruangan. Alvin mengantupkan giginya yang mulai bergetar itu. Sivia menepuk pundaknya dan membuat Alvin kembali ke dunia nyata yang tadi terjebak di lingkaran waktu.

Mereka masuk ke dalam. Tak lupa Alvin menyalakan lampu dengan sakelar yang berada di dekatnya. Lampu nyala, berkedip remang-remang sebelum lampu menyala dengan sempurna.

Penglihatan yang mereka lihat sesudah lampu dinyalakan.

Dokumen-dokumen berhamburan, para pena dengan berbagai warna tinta, mulai dari biru, hitam hingga merah keluar dari tempatnya hingga berserakan, buku-buku tulis siswa yang dikumpulkan terjatuh ke lantai. Intinya, ruang guru terlihat kacau. Belum lagi jendela yang terbuka, membuat pemandangan hitam di luar tak enak dipandang. Alvin buru-buru menghampiri jendela ke jendela, menutup jendela-jendelanya—meski tak semua terbuka—, menutup gordennya yang tersingkir di pinggir menutupi jendela.

Sementara Sivia dan Shilla membagi tugas untuk mencari absen atau dokumen sejenisnya. Lemari ke lemari berisi file dokumen tak kunjung menemukan absen sesekolah. Alvin yang sudah selesai dengan jendela dan gorden ikut membantu mencari.

Melempar, mengacak dan menabur kertas mereka lakukan hingga Shilla menemukan tempat file berisikan nama-nama murid sekolah.

"Gue nemu!" soraknya.

Sivia dan Alvin menghentikan kegiatan memberantak-berantakkan kertas, lalu menghampiri Shilla.

Shilla membuka file itu, deretan nama pun berjejer dengan rapih.

School In AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang