[21] Ruang bawah tanah

1.6K 130 1
                                    

Mereka mendekat ke arah lantai yang melihatkan seliut di bawahnya. Rio mengambil alih, dia meletakkan satu kaki di atas lantai dan satu lagi sebagai penopang, lalu mengetok-ngetok lantai itu.

"Ru-ruang bawah tanah, sekolah?" ucap Shilla terbata.

Mereka mengerutkan kening ketika melihat Shilla terlihat kaget dan kebingungan, sama seperti mereka rasakan. Sivia sempat berpikir kalau Shilla itu hanya pura-pura kaget dan dia tahu semua tentang kekonyolan ini, tapi dia terlihat sedikit lebih kaget dari pada mereka. Mungkin dia tak pura-pura dan mungkin dia memang saudari Debo. Sivia tak menyimpulkan hal penting ini dengan sembarangan, jari-jari tangan Shilla gemetar, sepertinya Shilla sedang berusaha menutupkan ketakutannya. Setidaknya Sivia—bukan, mereka harus percaya alibi ini.

Rio maju beberapa langkah, melihat mendalam anak-anak tangga yang curam, gelap nan menyeramkan yang seakan memanggil sekaligus mengusir mereka.

"Hem," gumam Rio.

Rio menginjak anak tangga pertama dengan kakinya yang teralas sepatu. Dia menginjak-injak anak tangga itu beberapa kali dengan kaki kanannya, lalu menoleh.

"Masih kokoh, mau lihat di dalamnya?" tawar Rio yang tentu saja membuat hasrat para temannya menggelora keluar.

Mereka mengangguk, terkecuali Shilla. Perlahan-lahan mereka memijakkan kaki mereka ke anak tangga berurutan dan damai dan begitu seterusnya hingga giliran Alvin tiba. Alvin menangkap Shilla dengan pandangannya, dia terlihat lemas  dan mulai sedikit terhuyung mundur.

"Mau masuk?" tawarnya ramah, dengan uluran tangannya yang akan mempersilahkan Shilla jalan terlebih dahulu.

Hanya tersisa Alvin dan Shilla di sana, yang lain sedang menelusuri anak-anak tangga yang siap di jadikan tumpuan kaki. Ini membuat Shilla mau tak mau harus masuk ke dalamnya sebelum Alvin meninggalkan dia sendirian. Shilla menarik satu tarian napas berat yang di susul dengan anggukannya. Dia menerima uluran tangan Alvin. Alvin terkekeh dan menuntun Shilla untuk mendahului langkahnya menuju anak tangga di depannya.

Kriet ... Kriet ...

Suara anak tangga terbuat dari kayu itu berbunyi ngilu. Semakin lama mereka mendalami jalur itu, semakin gelap. Suara langkah kaki menggema. Bayangan mereka menyatu dengan gelapnya ruangan. Sivia terbatuk, karena sarang laba-laba dan debu yang menghalangi jalannya. Oh yeah, sudah anak tangga ke 17 belas mereka langkahi atau mungkin lebih? Ify tak bisa mengingatnya.

"Ah, kayaknya gue udah sampai!" Sorak Rio. Dia memang menelusuri anak tangga terlebih dahulu di tempat paling depan, jadi wajar saja dia sudah sampai.

Buk! Buk! Buk!

Alvin dan Shilla kaget mendengar dentuman tiba-tiba itu. Suaranya menggema. Shilla menambahkan cengkaman genggaman tangan Alvin. Dia merasa terusik dengan suara itu. Dengan genggamannya, Shilla seakan berkata: Siapa di sana?!

"Ini semen! Berarti beneran sampai!"

"Ah, gue kira apa!" ujar Alvin yang mewakili kelegaan Shilla.

Mereka melanjutkan jalannya dan membuat anak tangga di penuhi suara langkah kaki. Kurang dari sepuluh detik yang hening. Dari arah depan mereka terdengar seorang suara sorak gadis. "Iya nih, udah sampai!"

Alvin mengira, itu suara Sivia.

"Nyalain lampu atau sebagainya gitu!" balas Alvin yang mulai terganggu dengan keadaan minim cahaya itu.

"Gak ada sakelar!" ujar Rio.

"Gue yakin lo belum cari." ucap Alvin yang sungguh sangat yakin. "Menurut film orang barat, biasanya tali yang di gantung itu sakelarnya!" sorak Alvin yang masih menuruni anak tangga.

Shilla masih menggenggam tangannya dengan lekat. Mungkin dia takut terhadap hal ini dan Alvin tak keberatan tangannya di genggam seorang gadis yang tangannya mulai membeku, meski genggamannya agak terlalu kuat.

Cahaya tiba-tiba menyerang mereka. Alvin menghalau sinar yang datang tak sesuai perkiraannya itu. Perlahan-lahan dia membuka matanya kembali, sama seperti yang di lakukan teman-temannya.

"Akhirnya!" ucap Alvin lega di susul dengan helaan napas. Tiba-tiba Shilla menarik lengan Alvin, menuntunnya dengan panik ke dasar anak tangga dan menempati tempat dimana Sivia dan Rio berada.

Alvin dengan napas yang terengah-ngeah mengibas-ngibaskan kerah seragamnya, lalu melirik ke Shilla. Shilla menghirup udara dengan tamaknya dan menghembuskannya kuat-kuat. Biar Alvin tebak, pasti dia ketakutan karena tak ada yang menjaganya. Tunggu, Alvinkan ada, apa dia tak menganggap Alvin seseorang yang kuat?

"Wow .... " Shilla terpukau melihat seisi ruangan.

Ruang bawah tanah sekolah agak menyeramkan. Di langit-langit ruangan terdapat sarang laba-laba, benda-benda tua yang berdebu dan lukisan di tengah dinding yang menyita perhatian. Lukisan setengah badan wanita cantik. Agak lama Shilla memandang lukisan itu, mulai dari bingkai berwarna keemasan, latar lukisan sampai bagian-bagian tubuh wanita itu.

Shilla mendengar langkah kaki yang menjauh, dia rasa Alvin sedang berjalan menuju Rio karena beberapa saat lalu Rio terdengar memanggilnya. Tapi dia tak peduli, Shilla hanya menatap lekat lukisan itu dan dia terdorong untuk melihatnya lebih teliti. Dia mendekat. Baju Dress merah tahun 1978, terbalut ditubuh gadis dalam lukisan itu. Jari mungil. Rambut coklat yang seakan tak akan beruban. Dan, mata birunya yang seakan hidup ....

Rasanya tak habis-habis dengan kekaguman yang meraja lela di matanya itu. Shilla mengganti pandangannya ke arah alis gadis itu yang sungguh memukau. Bila dia hanya terus memandang matanya tanpa letih, lama-lama dia akan kehabisan waktu untuk memandang yang lain. Gadis di lukisan ini sangat sempurna.

Shilla menurunkan pandangannya. Kulit pipinya yang putih dan sedikit memerah itu tertangkap oleh pandangannya. Shilla berdecak kagum. Bahkan di lukisan kulitnya terlihat lembut dan mulus, seperti gadis dari dunia dongeng. Shilla menggigit bibirnya geram, pipinya itu, dia sangat ingin menyentuh pipi gadis itu. Tangannya mengapung di udara dan siap mengelus pipi gadis itu dan membandingkan kelembutan pada pipinya. Tangan Shilla menyentuh permukaan lukisan tepat di bagian pipi.

Shilla lekas menipis tangannya. Bukan kelembutan yang dia rasakan, melainkan permukaan yang sangat kasar. Shilla tersentak. Benda mati. Gadis itu hanya benda mati dalam bidang datar, bahkan dia tak memiliki volume. Tapi, matanya kini memandang Shilla. Shilla yakin bahwa tadi mata gadis di lukisan itu melirik ke kanan, bukan ke arahnya.

Bulu kuduknya berdiri. Shilla buru-buru pergi dari lukisan itu. Untuk memastikannya sekali lagi bahwa lukisan itu menatapnya, Shilla menutup matanya rapat-rapat dan memberanikan diri untuk menoleh disela langkah kakinya.

Hilang.

Oke, cukup. Shilla cepat-cepat memalingkan wajahnya dan bergegas pergi dari sana menuju teman-temannya yang hanya tinggal dua meter.

"Agenda tahunan?" Rio menyatukan alis. Sivia menemukan buku itu di rak tua yang telah termakan rayap dan berdebu. Rio membuka buku itu. "Disini di tulis oleh ketua OSIS, tahun .... " Rio membalik lembar berikutnya. "1994" imbuhnya.

Shilla menepuk pundak Alvin, dia baru sampai di sana dan lekas menanyakan sedang membahas apa. Alvin menjawabnya pelan-pelan, bahwa mereka membahas agenda tua sekolah. Shilla membentuk bibirnya menjadi huruf "O" sembari mengangguk.

Rio kembali membalik lembar halamannya. Sepucuk kertas jatuh dari halaman itu, Rio menaikkan alisnya yang agak tersentak dan mengumut kertas itu. Dan bertapa terkejutnya dia melihat nama yang di tulis di surat itu.

School In AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang