[28] Pundaknya

1.2K 92 13
                                    

"Ah! Ya sudahlah! Mungkin lampunya rusak atau mati lampu." Ify mengacuhkan ke jadian ini.

"Jadi? Lo bawa kristalnya kan, Fy?" tanya Rio memastikan.

"Bawa ada di saku celana." Ify menepuk-nepuk saku celana, men pada semua dimana tempat kristal ini bersarang.

"Gue aja yang bawa sini." kata Rio.

Ify menaikkan alisnya, mengamati mata coklat Rio mendalam sementara lengannya merogoh saku celana mengambil kristal itu. Ify memberikan kristalnya ke tangan Rio yang sudah terulur. Kristal itu kini berpindah tangan. Rio menaruhnya di dalam saku jaket bagian dalam.

"Lo ceroboh, jadi gue aja yang megang." ujarnya.

Ify menaikkan ke dua alisnya, Rio benar. Ify sangat ceroboh, apa lagi soal benda-benda yang penting, seperti cincin emasnya yang tercebur selokan, surat lulus sekolah menengah pertamanya yang terbang lalu jatuh ke jalan dan dilindas mobil atau kunci rumah yang hilang karenanya, untung kunci itu, kunci cadangan. Ify menghela napas mengingat kejadian menyedihkan itu.

Shilla menyorotkan lampu senternya. Keseluruhan daerah kantin. Sorotannya berhenti dan terpaku pada meja kantin paling pojok dan jauh dari mereka. Seperti ada gundukan di atas sana. Gundukan hitam. Shilla menyipitkan matanya, menatapnya tajam. Gundukan itu bergerak. Bergelinding sedikit kiri, berlawanan dengan arah Shilla.

Dia sadar, itu bukan gundukan, tapi kepala tak bertubuh yang matanya kini melihat ke arahnya dengan terang.

Shilla menjerit.

Shilla lekas memeluk Sivia yang berada di sampingnya dengan erat hingga Sivia tak bisa mengatur napasnya dengan baik.

"Ada apa sih?" tanya Sivia khawatir.

"Ayo ... Ayo pergi dari sini." ujar Shilla dengan parau.

Mereka terdiam sesaat lalu mengangguk. Shilla melepaskan pelukannya, Sivia menggenggam telapak tangan Shilla dan mereka berlalu pergi. Tanpa menoleh sedikit pun.

Mereka berjalan di lorong sekolah tanpa arah. Canggung, sepi, gelap.

"Jadi, gimana menutup gerbangnya?" tanya Alvin memecahkan keheningan yang terjadi.

"Ya, gue udah nanya ke 'seseorang' yang berhubungan kejadian ini. Dan katanya kristal itu, kristal yang sekarang berada di saku jaket Rio, kita bisa gunain benda itu."

"Maksud gue, itu gimana caranya?" Alvin memutar bola matanya, dia juga tahu kalau kristal itu berguna, tapi caranya yang dia tak tahu. "Mungkin ngepal kristal itu, terus baca mantra. Atau masukin kristal itu ke sebuah tempat. Atau—"

"Gue gak bisa kasih tau kalian."

Alvin mengernyit, mengorek kupingnya takut-takut dia salah dengar. "Apa?"

"Gue gak bisa kasih tau caranya ke kalian." ulang Ify dengan decakkan terlebih dahulu. "Yang penting, jaga kristal itu baik-baik."

Alvin terdiam. Aneh. Aneh. Aneh. Terlalu aneh. Ini semakin rumit bahkan untuk kasus menyeramkan seperti ini. Alvin berhak tahu, begitu pun dengan teman-temannya. Tapi kenapa Ify merahasiakan caranya? Meski Alvin tahu satu rahasia penting, sangat penting malah.

Tiba-tiba suara pekikkan yang tertahan muncul.

"Akh—"

Mereka menoleh ke belakang. Lorong sepi seperti seharusnya, tapi tadi terdengar suara teriakan. Alvin menoleh, Ify hilang. Hanya tersisa empat orang termaksud dirinya. Alvin menyelidik ke sekeliling lorong.

Suara pekikkan tertahan lagi kembali.

"Aaa—"

Alvin kembali melihat ke depan, tak ada siapa pun kecuali teman-teman di sampingnya. Tunggu. Rio hilang.

"Ke mana yang lain?!" tanyanya setengah berteriak.

Shilla dan Sivia menggeleng. Alvin berdecak keras-keras, pundaknya bahkan terasa berat. Dia harus mencari teman-temannya, Ify dan Rio, atau masalah ini semakin panjang.

Alvin pergi tanpa mengajak atau pun pamit kepada mereka. Sivia yang melihatnya lekas memegang pergelangan tangan Shilla dan berlari mengikuti dengan senter yang menyorot langkah Alvin.

Setengah jam, lebih tepatnya tiga puluh empat menit dua puluh dua detik mereka habiskan untuk berlari, mencari dan terhenti karena letih. Langkah mereka—Alvin, Sivia dan Shilla—bahkan sudah sejajar. Kini mereka berjalan di koridor sekolah. Sudah tiga belas kali mereka lewati, ditambah sekarang menjadi empat belas kali.

Napas mereka masih tersisa, meski sedikit. Tenaga pun sama, namun kedua kaki Shilla sudah tak kuasa. Shilla menepi, membuat bokongnya yang hangat bersentuhan dengan lantai yang dingin. Sivia menyikut Alvin, menyuruhnya dengan tata bergantian antara dia dan Shilla yang terduduk. Alvin mengangguk, menyetujui agar mereka istirahat, sejujurnya Alvin juga agak lelah, matanya bahkan mulai berair karena menahan kantuk.

Sivia menyusul Shilla mendaratkan bokongnya, disusul Alvin yang berada di sebelah Sivia. Mereka baru tahu bahwa duduk sangat mengenakkan, kususnya semua keletihan diangkat meski nanti akan datang lagi, tapi tidak untuk Alvin. Pundaknya bahkan tambah berat kini, semakin dia ingin menghilangkan penatnya, semakin berat pundaknya.

Sangat berat. Beratnya terasa lebih dari sepuluh kilo. Badannya terpeleset ke bawah saking beratnya. Sivia yang hampir memejamkan matanya itu tersentak ketika siku lengan Alvin menyenggol sepatu putihnya. Sivia yang mengucak mata terlebih dahulu kaget melihat Alvin yang sudah terperosok ke lantai, hampir sebagian besar badannya—sampai pundak turun sedikit. Dia mengernyit kesakitan, Alvin bisa merasakan pundaknya menjadi sakit—sangat sakit.

Sivia cepat-cepat membopongnya untung menegakkan tulang rusuknya kembali, tapi Alvin tak kuat hingga terperosok kembali. Shilla yang melihat Sivia sibuk dengan urusannya mulai penasaran dan melihat apa yang terjadi. Dilihatnya, pundak Alvin sudah tak berbentuk normal lagi, pundaknya terlalu miring ke bawah, mungkin dari ujung pundak—dekat leher—memiliki suduk 45° kini.

"Alvin kenapa?!" tanya Shilla panik melihat pundak Alvin.

"Gak tau! Gue bingung! Ini sekarang bagaimana?!" Sivia melemparkan tanyanya kembali. Melihat Alvin yang semakin pucat dan meringis membuat Sivia mengernyit ngeri.

"Ke UKS!" jawab Shilla polos.

"Jangan! Jangan ke UKS! Lo inget gak, pas tangan Debo berlubang itu karena gunting UKS?!" Sivia bersorak, menentang keras untuk pergi ke sana. Shilla yang tampak terdiam menyadarkannya bahwa Shilla tak ada sangkut pautnya dengan peristiwa itu.

"Tapi ... Ini darurat." nadanya beda saat terakhir kali dia bersuara melengking karena khawatir, sekarang nadanya seperti pelan dan dalam, dia ragu-ragu.

Sivia mengerutkan kening. Berpikir dengan hati-hati, berpikir tentang risiko, berpikir tentang nyawa. Sivia mengangguk. Lebih baik dia mengurusi peristiwa yang sekarang, peristiwa yang nanti-nanti beda urusannya.

Sivia lekas meletakkan lengan kanan Alvin—lengan milik Alvin yang berada tepat di sampingnya—melingkari tengkuk lehernya. Di ikuti Shilla yang cepat-cepat berlari melewati Sivia, pergi ke lengan kiri Alvin dan melingkarinya ke tengkuk lehernya.

"Gue hitung sampai tiga angkat! Satu ... Dua ... "

School In AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang