[29] Pundaknya (2)

1.1K 91 3
                                    

"Gue hitung sampai tiga, angkat!" Shilla mengangguk mendengarnya. Mereka membentuk dan menguatkan kuda-kudanya. "Satu ... dua ... tiga!"

Mereka mulai berusaha mengangkat lengan Alvin. Sulit dipercaya, Alvin sangat teramat berat, bahkan untuk mereka berdua, hingga mereka bersusah payah mengangkatnya. Mereka menurunkannya lagi, berniat mengulangnya lagi. Mereka pun membuat kuda-kuda lagi dengan kaki yang telah kelelahan. Sivia kembali berhitung dan membuat mereka mengangkatnya kembali, tetap berat, tapi masih sanggup dan bisa mengangkatnya.

Mereka berjalan dengan kaki menapak di atas ubin, tapi bukan itu masalahnya, tarikan kaki ke permukaan ubin begitu berlebihan yang membuat kaki mereka kewalahan sehingga ketika berjalan kaki bereka bergetar dan menekuk menahan tarikannya. Ah, bukan tarikan, tapi dorongan, dorongan dari beban lengan Alvin.

Hingga sudah beberapa langkah mereka lewati dengan susah payah dan akhirnya mereka sampai di ambang pintu UKS.

Sivia merintih sebelum berkata, "Shi-Shill, bukain pintunya."

Shilla menuruti perintah Sivia. Shilla mengulur-ulurkan tangan kirinya ke gagang pintu, namun sesuatu tiba-tiba mengalangi pandangannya.

Tali hitam tipis yang panjang turun dari atas. Semakin lama, tali hitam itu semakin banyak dan panjang. Shilla bergeming. Bau tali itu sangat busuk, lebih busuk dari bangkai tikus. Shilla menyipit ketika menyadari menyadari sesuatu, itu bukan tali hitam, tapi rambut. Shilla memejamkan mata. Menggigit bibir bawahnya. Rambut Alvin tak sepanjang ini, atau pun Sivia karena dia berambut pendek. Shilla berusaha mencari gagang pintunya dengan mata yang tertutup, meraba-raba dengan harapan bisa dengan beruntung menemukannya.

Sekejap tangannya kaku. Berhenti mencari.

Mulai ada geraman halus di ujung telinganya. Bulu kuduk naik. Shilla tak bisa bergerak. Saraf-sarafnya tak mau mengikuti perintahnya, hanya kesadaran yang tersisa.

"Kakak .... "

Shilla tersentak dalam batinnya.

Hening kembali.

Suara anak-anak. Tadi, suara anak-anak. Anak-anak perempuan. Dari ujung pundaknya seperti ada yang menyentuh pelan, benda putih yang berada di ujung jari menyentuhnya. Merambat. Sentuhan-sentuhan itu merambat hingga daerah sekitar sikunya yang juga tempat lengan seragamnya. Tertahan, atau berhenti. Sentuhan itu terangkat, meninggalkan rasa nyeri mendalam. Shilla baru saja mau menyatakan kelegaannya, tapi tiba-tiba pergelangan lengannya tergenggam begitu kuat, Shilla memekik ketakutan.

"Shilla! Lo kenapa?!" Sorak Sivia tempatnya dengan khawatir.

Shilla lekas membuka mata. Tak ada lagi sehelai rambut atau pun sesuatu yang menjelaskan sentuhan itu, tapi lebam di area sikunya dan pergelangan tangannya masih membekas. Napasnya terengah menandakan jantung yang berpompa tak karuan. Shilla menggeleng getir, "Gue gak papa."

Shilla merasakan lengannya kini bisa di gerakkan kembali, Shilla meremas-remas jarinya, mengetes bahwa apa ada yang salah dari lengannya, tapi nihil.

Shilla meraih gagang pintu di samping kanan telapak tangannya yang salah sasaran itu, menekannya ke bawah, lalu mendorongnya.

Criet ....

Suara engsel berdecit menemani pandangannya dalam diam menyapu ruang UKS yang sepi dan gelap. Bau obat-obatan menyambut, menerobos langsung ke dalam paru-paru dan menyelip sedikit bau hangit dan melati.

Sivia membawa lengan Alvin di tengkuk lehernya bersamanya. Shilla buru-buru menyamakan langkahnya. Dalam ke adaan gelap, mereka mencari ranjang terdekat untuk membaringkan Alvin dengan bahu miringnya.

Sivia mengaduh, betisnya terbentur ranjang dengan penopang besi.

"Kenapa?" tanya Shilla khawatir, dia takut, bahwa Sivia terkena sesuatu seperti teror sama dengan dirinya.

"Gue nemu ranjang." jawabnya lirih, hingga dengar aneh di salah satu kata sembari mengelus betisnya yang kesakitan.

"Mana?" Tanya Shilla, matanya sudah sampai batas dimana cahaya tak ada yang masuk kembali meski dia sudah berusaha.

"Sini." Sivia menarik lengan Alvin lagi, hingga Shilla kaget. Sivia. "Shilla, lo dari situ." Sivia menarik lengannya ke sisi kanan ranjang, namun Shilla yang bingung malah mengikutinya.

Sivia berdecak, "Bukan, bukan di sini. Di sana."

Shilla tak bergeming, dia tak melihat apa pun atau mengerti dimana dia.

Sivia mendesah, Sivia berjalan ke arah berlawanan, membuat badan Alvin terdorong dan Shilla mengikutinya meski agak keliru. "Di sini." katanya ketika sampai di hadapan ranjang di sisi kiri.

Shilla meraba-raba dengan lengannya yang lebam itu, tangannya menemukan sesuatu yang padat. Terlalu padat malah.

Tik, tok, tik, tok.

Suara dentuman jarum jam terdengar menembus gendang telinga. Shilla kembali meraba dan permukaannya masih sangat keras. Shilla menurunkan sedikit rabaannya di dekat daerah yang padat itu, sesuatu yang menjulang-menonjol-terasa di jari-jemarinya. Dia menurunkan sedikit lagi daerah rabaannya lagi, dan terdapat sesuatu yang kasar, keras, berlendir dan hangat.

Tiba-tiba jari terantup oleh benda keras dan sedikit berlendir. Gigi.

Shilla terhuyung kaget ke belakang, Sivia tersentak karenanya. Shilla menahan pekikkannya, menelan pekikkannya supaya tak keluar.

"Ada apa?!" tanya Sivia.

"G-gak." Shilla menurunkan lengan Alvin, membuatnya sedikit terbaring. Dilanjutkan Sivia, ikut menurunkan lengan Alvin dan membaringkan tubuhnya.

"Nyalain lampunya, gue mulai gak tahan sama keadaan gelap." Shilla menguantumkan giginya yang menggigil tiba-tiba.

Sivia merapatkan jarak antara alisnya, khawatir. Sivia cepat-cepat berjalan-bukan, setengah berlari-lari ke sakelar di samping pintu. Dia menekan, hingga ujung yang terangkat menjadi menurun. Lampu menyala.

Shilla dengan pasrah melihat lengan kirinya. Lebam sudah terhias di pergelangan lengannya, lebam berbentuk genggaman tangan. Shilla melepas dasi sekolah yang dikenakan, menutupi lebamnya dengan dasi hingga tak terlihat lalu mengikatnya.

Suara langkah kaki terdengar. Shilla menurunkan lengan kirinya dan menatap Alvin.

Sivia datang ke sampingnya, melihat kondisi Alvin yang menurutnya mengenaskan. "Alvin yang malang." gumamnya lirih.

Shilla menepuk pundak Sivia, pertanda untuk mengistirahatkan dirinya juga. Bagaimana pun mereka sudah melewati waktu yang panjang, dan Shilla rasa Ify dan Rio bisa menyelesaikan masalahnya tersendiri hingga mereka tak perlu membantunya.

Shilla duduk di kursi yang berhadapan dengan meja pengawas UKS. Dia mengamati dalam diam ruangan itu, pandangannya kosong, tak berisi. Tak sengaja dia menemukan papan tes, papan yang sering dipakai para pelajar sebagai alas lembar ulangannya. Terjepit di sana sebuah kertas HVS putih. Shilla yang tak ada pekerja, mengambil papan tes itu dan melihat kertas itu, dia meniup-niupnya, entah karena apa.

Tak sengaja kertas itu tertiup naik dan matanya menangkap kertas lain di sana dan terdapat tulisan bertinta merah padam. Shilla membelalak melihatnya dan memekik memanggil Sivia.

School In AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang