Warning! Typo's everywhere...
***
Aness memandangi dirinya melalui kaca spion di atas kepalanya. Mata hijaunya terlihat lelah, kantong mata tercetak sempurna di bawah matanya, membuat lingkaran hitam di sekitar matanya.
Semua itu karena ulah Romero. Memang kenyataannya Aness bisa melupakan masalahnya, tapi Aness jadi tidak ada waktu untuk tidur.
Semalaman penuh Romero mengajak Aness pergi ke bar yang terletak di pusat kota. Menghabiskan waktu malamnya untuk minum-minum. Entah sudah berapa botol yang Aness habiskan semalam. Yang pasti, Aness merasakan kepalanya masih pening hingga sekarang. Pengaruh alkohol masih bisa ia rasakan.
Dari dalam mobilnya, Aness bisa mendengar dengan jelas hiruk-pikuk khas anak sekolah. Rata-rata dari mereka mempertanyakan akan seberapa bagusnya aula sekolah mereka saat malam pesta dansa sekolah mereka tiba.
Aness mengambil kacamata hitam yang ia letakkan di atas dashboard mobilnya. Kacamata hitamnya kini bertengger sempurna di hidung mancungnya. Cukup membuat kantong matanya tidak terlihat.
Aness menghembuskan napas panjangnya. Tak lama, tangannya beralih membuka pintu mobil miliknya. Tali ranselnya hanya ia sampirkan pada satu bahunya. Aness mengunci mobilnya setelah kakinya menginjak tanah.
Semua obrolan tentang malam pesta dansa yang akan diadakan dua minggu lagi akhirnya tergantikan dengan topik yang lain saat Aness keluar dari mobilnya. Aness bisa mendengar dengan jelas bisikan demi bisikan yang ditujukan untuknya. Aness bahkan bisa mendengar obrolan mesum cowok-cowok yang ada di parkiran.
Tak jarang ada juga yang mengomentari jika Aness semakin terlihat lebih keren saat memakai kacamata hitam seperti sekarang. Oh, please. Jika saja kantong matanya tidak sehitam sekarang, Aness juga tidak akan memakai kacamata hitamnya.
Aness berjalan dengan santai, menghiraukan omongan orang-orang yang ada di sekolahnya. Semua omongan atau pujian yang diberikan untuknya, dengan mudahnya diabaikan oleh Aness. Bagi Aness, yang ada di sekolahnya tidak semuanya dapat dipercaya. Aness tahu jika rata-rata cewek-cewek yang ada di sekolahnya tidak tulus berteman dengannya.
Mulai dari yang memanfaatkannya. Entah itu kecantikannya, atau hartanya. Bahkan ada juga cewek yang tidak tahu dirinya menghampiri Aness, memintanya untuk mengenalkan dirinya dengan Vincent.
Siapa yang tidak mengenal Vincent Sinclair di SMA Hamilton. Semua mengenal Vincent, bukan cuma cewek-cewek remaja yang ada di sini, tapi juga dengan para guru perempuan di sekolahnya.
Vincent Sinclair adalah pengusaha muda yang terkenal dengan usaha sepatunya. Sepatu yang bahkan sudah dijual hingga ke banyak negara lainnya. Aness tentu bangga dengan usaha Vincent yang memulai usahanya dari angka nol. Aness tahu bagaimana jatuh bangunnya Vincent memulai usahanya.
Vincent sangat menyukai sepatu. Mungkin itulah yang mendorong Vincent untuk membuat sendiri pabrik sepatunya. Vincent juga tidak menyangka jika sepatu buatannya banyak yang berminat.
Tak hanya mapan, Vincent juga terkenal dengan ketampanannya. Rambut hitamnya segelap malam, rahangnya yang tegas, tatapannya setajam elang, badannya yang kekar dan berotot. Sungguh sempurnanya ciptaan Tuhan yang satu itu di mata kaum Hawa.
Aness menghembuskan napasnya saat melihat perempuan berambut pirang yang tersenyum lebar padanya. Lebarnya melebihi senyuman Joker menurut Aness. Rambut pirangnya yang keriting bergerak naik-turun saat kakinya berlari menghampiri Aness. Mata birunya terlihat berbinar saat ia sampai di hadapan Aness.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unknown Princess (On Hold)
VampirePutri dari kerajaan vampire yang memegang tinggi kekuasaan dari kerajaan vampire lainnya. Hidupnya yang bahagia sekejap berubah menjadi tragis saat dirinya disalahkan atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Dicibir... Dipandang ji...