Warning! Typo's everywhere...
***
Aness mengganti baju biasa dengan baju olahraga sekolahnya. Murid-murid kelasnya sudah berkumpul saat Aness datang ke gedung olahraga. Sepertinya Aness yang datang terakhir. Pagi ini, Aness datang terlambat. Keterlambatannya juga yang membuat Aness diberi tugas tambahan oleh guru sejarahnya.
Semalam Aness terbangun tengah malam karena mimpi yang mendatanginya. Dikatakan mimpi, juga tidak. Mimpi itu adalah kejadian yang pernah Aness alami bersama neneknya. Setelah bermimpi itu, Aness jadi tidak bisa tidur lagi. Aness baru bisa memejamkan matanya saat subuh menjelang.
Liane langsung menghampiri Aness yang juga menghampirinya. Entah kebetulan atau tidak, Aness kembali satu kelas dengan Jason. "Kau pucat," Liane mengomentari wajah Aness yang terlihat pucat hari ini.
"Aku memang pucat," sampai saat ini, Aness masih belum juga meminum darah. Tenggorokannya panas, membuat Aness melihat teman sekelasnya seperti penghilang dahaganya. Aness menggelengkan kepalanya, mencoba menghilangkan rasa pusing di kepalanya. Detak jantung Liane terdengar berdengung-dengung di telinga Aness, seperti lebah berputar-putar di gendang telinganya.
Liane menggeleng. "Kau lebih pucat hari ini," sangkalnya.
Aness menoleh ke pinggir lapangan. Ia langsung memalingkan wajahnya saat matanya bertemu dengan Jason yang juga menatapnya. Aness yakin jika Jason sudah memperhatikannya sejak Aness memasuki gedung olahraga.
"Kenapa rambutmu tidak diikat?" Tanya Liane setelah ia melihat rambut coklat Aness yang masih tergerai. Aness bingung harus menjawab apa. Aness sengaja tidak mengikat rambut panjangnya, masalahnya jika Aness mengikat rambutnya, tato itu akan terlihat dengan jelas.
Aness menghela napas lega saat Pak Ken masuk ke gedung olahraga, diiringi dengan tiupan pluitnya yang nyaring. Semua murid berbaris seperti biasa. Sepertinya hari ini adalah sepak bola, melihat Pak Ken yang datang dengan bola kulit di tangan kirinya, berhimpitan dengan perutnya yang buncit.
"Apa tidak gerah nanti?" Liane kembali bertanya. Tangan kanannya menarik ikat rambut hitam cadangannya yang dijadikan gelang olehnya. Liane kembali menggelangkan ikat rambutnya saat Aness menggeleng padanya. Liane hanya mengangguk pasrah menuruti.
***TheUnknownPrincess***
Pelajaran olahraga berakhir dengan pendinginan sebelum kelas olahraga dibubarkan. Kaos yang tadinya kering, sekarang menjadi basah, dibanjiri oleh keringat masing-masing. Pak Ken keluar dari gedung olahraga setelah pendinginan selesai dilakukan. Murid laki-laki dan perempuan langsung berpencar, melenggang pergi ke ruang ganti.
Aness melepaskan kaos olahraga yang juga basah oleh keringatnya, ia lalu membilas bersih tubuhnya dengan air yang mengalir. Walaupun masuk ke dalam kategori sekolah di kota kecil, SMA Hamilton memiliki fasilitas yang sangat memadai. Seperti ruang ganti misalnya. Ruang ganti perempuan di SMA Hamilton terdapat lima belas kamar mandi lengkap dengan peralatan mandinya. Shower, sabun, bahkan sampo.
Aness mengambil handuk yang tadi ia sangkutkan di belakang pintu bilik kamar mandi yang ia gunakan. Setelah kering, Aness memakai pakaian biasa yang tadi dipakai olehnya. Celana jins hitam dengan kaos lengan panjang berwarna biru dongker. Didapatinya wajah Liane saat Aness membuka pintunya. Liane memang sengaja berganti giliran untuk mandi dengan Aness.
Aness menahan napasnya saat dirinya mencium anyir darah. Kerongkongannya terasa semakin panas, perutnya seperti ada yang meremas-remas dari dalam. Bagian dalam tubuh Aness seperti tersiram timah panas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unknown Princess (On Hold)
VampirePutri dari kerajaan vampire yang memegang tinggi kekuasaan dari kerajaan vampire lainnya. Hidupnya yang bahagia sekejap berubah menjadi tragis saat dirinya disalahkan atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Dicibir... Dipandang ji...