Chapter 08 || Comeback Home ||

582 46 0
                                    

Warning! Typo's everywhere...

***

Siang harinya, mereka memutuskan untuk berangkat ke kerajaan Valletta dengan sebuah mobil range rover hitam milik Vincent. Jika semalam Aness sangat yakin untuk menemui neneknya, berbeda dengan sekarang, Aness merasa gugup dan takut untuk ke sana. Aness tidak ingin mengingat kenangan itu. Mimpi buruk selalu mendatanginya saat Aness mengingat bagaimana wujud kastil yang dulu pernah ia kagumi kemewahannya.

"Apa kau baik?" Vincent menoleh ke belakang, memandang Aness dengan raut khawatirnya. Sejak meninggalkan rumah, Aness hanya terdiam. Tidak mengeluarkan suara sama sekali. Aness sangat pandai menyembunyikan apa yang dia rasakan.

Aness mengangguk.

"Serius?" Tanya Romero yang melirik Aness dari kaca spion yang ada di atasnya. "Kau tambah pucat," tambahnya.

"Aku baik," ucapnya, tapi Aness hanya berharap jika dia akan baik-baik saja.

Hanya menemui nenek, dan langsung pulang setelahnya.

Aness mengucapkannya berulang-ulang dalam hati seperti penyihir yang sedang berlatih mantra. Aness sudah memantapkan hatinya, kunjungan Aness kali ini hanya untuk menemui neneknya. Bukan untuk reunian atau saling kangen-kangenan. Bukan juga untuk berbagi cerita hidup. Namun, keyakinan hati Aness seakan goyah saat dirinya bertemu dengan orangtuanya nanti. Jika Aness pergi ke sana, sudah dipastikan dirinya akan bertemu dengan kedua orangtuanya, dan dia belum siap untuk hal itu.

Bertemu dengan keluarganya seperti membuka luka lama yang masih belum tertutup sempurna, tapi tidak untuk neneknya. Neneknya sekarat, dan sangat mengharapkan kehadiran dirinya. Sudah dikatakan, jika Aness masih memiliki perasaan. Aness tidak tega membiarkan neneknya seperti itu.

Aness menggulung lengan jaket abu-abu bertudung miliknya, melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Sudah lebih dari lima jam mereka berkendara, tapi belum sampai juga hingga saat ini. Aness mengecek ponselnya, sinyal sudah lama menghilang sejak mobil Vincent masuk ke dalam hutan satu jam yang lalu. Selama satu jam itu juga hanya pohon dan tanaman liar yang Aness lihat melalui mata hijaunya. Mobil Vincent berjalan mengikuti jalan setapak yang bisa dilalui untuk mobil untuk satu arah.

Vincent bergerak dengan tiba-tiba saat melihat sekelebat bayangan yang melewati mobilnya. "Apa kau lihat itu?"

Romero menggeleng, sedangkan mata Aness menjelajah ke sekitar mobilnya, memperhatikan setiap sudut luar melalui kaca jendela mobil dengan waspada.

Aness hampir saja terpental ke depan ketika Romero menginjak pedal rem secara tiba-tiba. Jika saja Aness tidak memakai sabuk pengaman, sudah dipastikan dirinya terpental ke depan. Mereka bertiga menatap nanar pohon besar yang tumbang menghalangi jalan mereka. Vincent terdiam sambil berpikir.

"Pohon itu sengaja ditumbangkan," ucap Romero memecah keheningan di dalam mobil, Vincent mengangguk setuju.

"Hanya ini satu-satunya jalan," ucap Vincent lalu menoleh pada Aness. "Kau bawa belatimu?" Aness mengangguk. Ia mengambil belati yang disembunyikan di balik sepatu boots hitamnya.

Belati itu berwarna perak dan terbuat dari perak dengan ukiran nama Aness. Belati itu diberikan Vincent untuk Aness tepat usia Aness menginjak delapan belas tahun, sekaligus mengajarinya ilmu bela diri.

"Kerajaan Valletta sudah dekat," Vincent mengeluarkan rencananya. "Hitungan ketiga, keluar dari mobil. Melesat secepat mungkin, apapun yang terjadi jangan berhenti," Romero mengangguk.

Baru saja Aness ingin bersuara, ucapannya sudah didahului oleh Vincent. "Apapun yang terjadi," ucapnya menegaskan. Aness terdiam tidak menjawabnya. Jujur saja, perasaannya menjadi tidak enak saat mendengar rencana Vincent.

The Unknown Princess (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang