Warning! Typo's everywhere...
***
Aness langsung menerjang tubuh Vincent setelah pemuda itu membuka pintu rumahnya. Dengan sigap, lengan kekar Vincent memeluk tubuh Aness. Vincent merasa bingung melihat Aness yang saat ini malah terisak dalam dekapannya. Bahunya bergetar karena saking kencangnya ia menangis.
Vincent hanya bisa menenangkan Aness, menunggunya menyelesaikan isak tangisnya. Satu tangan Vincent mengelus punggung Aness dengan lembut, sedangkan satu tangannya memeluk erat pinggang Aness, menahan perempuan itu untuk tetap berdiri. Vincent menuntun Aness untuk duduk di sofa. Menurutinya, Aness terduduk dengan posisi miring, kepalanya masih ia tenggelamkan ke dada bidang Vincent.
Beberapa saat yang lalu Aness mengirim pesan singkat untuk Vincent, menyuruhnya untuk segera pulang. Namun, Vincent tidak tahu apa yang menyebabkan Aness memintanya pulang cepat.
"Tenanglah," ucap Vincent berusaha menenangkan. Vincent menciumi puncak kepala Aness.
Walaupun Aness terlihat cuek dan seperti tidak peduli pada orang lain, tapi Aness adalah orang yang sangat tidak bisa menahan kesedihannya jika sudah melebihi batas. Tangisan Aness saat ini, mengingatkan Vincent ketika pertama kali dirinya bertemu dengan Aness. Seorang gadis kecil yang rapuh, sendirian tanpa ada yang mengerti dirinya.
"Ada apa?" Vincent melepaskan pelukan Aness. Mata coklatnya menatap Aness dengan lembut. Kedua ibu jarinya bergerak untuk menghapus air mata Aness. Mendapat perlakuan seperti itu, Aness berhenti menangis, tapi ia masih belum bisa menghentikan isakkannya.
"Nenek," ucap Aness, suaranya hanya sekeras bisikan. Vincent tidak menanggapinya, ia masih menunggu Aness melanjutkan ucapannya. "Nenek sekarat," Aness kembali terisak. Vincent langsung mendekap tubuh Aness, membiarkan perempuan itu menyandar di tubuhnya. Vincent siap memberikan bahunya kapanpun Aness membutuhkannya.
Vincent menoleh ke arah pintu yang baru saja terbuka. Wajah panik Romero muncul menghadap Vincent. Vincent menatap tajam Romero, lalu beralih pada Aness yang masih terisak. "Kalian sudah tahu," gumamnya lalu mendaratkan bokongnya di single sofa.
Aness melepaskan pelukannya pada Vincent, kedua tangannya menyeka air mata yang membasahi pipinya. Mata hijaunya menatap Vincent, seakan tahu jika ada yang ingin ditanyakan oleh pemuda itu. "Jadi, bagaimana keputusanmu?"
Aness terdiam sebentar, memikirkan jawaban yang tepat. "Aku ingin menemui nenek," ujarnya di sela-sela isakkannya.
Mengingat ucapan pengawal Jason membuat Aness ingin menemui neneknya. Jika neneknya meracaukan namanya, itu artinya, neneknya benar-benar merindukan Aness. Mungkin itu sebabnya Aness bermimpi tentang kejadian yang pernah dialaminya dengan sang Serena.
"Apa kau yakin?" Vincent terdengar ragu, tapi Aness mengangguk yakin.
Vincent menoleh pada Romero. "Bagaimana? Apa kau ikut?"
Romero mengangguk tegas. "Tentu," jawabnya yakin tanpa berpikir dua kali.
"Tenang saja," ucap Aness. Ia bisa membaca dengan jelas raut wajah Vincent yang menunjukan kekhawatirannya. Aness tahu jika Vincent tidak terlalu yakin dengan keputusan yang Aness buat. "Aku hanya menemui nenek," Aness menggenggam tangan Vincent, membuatnya ikut yakin dengan keputusan Aness.
"Setelah itu kita pulang." Vincent mengangguk menyetujui.
***TheUnknownPrincess***
Aness meneguk habis satu gelas minuman yang berisi cairan berwarna merah pekat. Aness langsung menyodorkan gelas kosong itu pada Romero, memberi kode untuk mengisinya lagi. Romero meneguk ludahnya saat melihat tatapan Aness yang menatapnya dengan mata merahnya yang menggelap, ditambah taring yang mencuat membuat Romero semakin ngeri terhadap Aness.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Unknown Princess (On Hold)
VampirePutri dari kerajaan vampire yang memegang tinggi kekuasaan dari kerajaan vampire lainnya. Hidupnya yang bahagia sekejap berubah menjadi tragis saat dirinya disalahkan atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Dicibir... Dipandang ji...