Vincent kembali ke ruang kerja Max. Ketiga petinggi kerajaan Valletta duduk manis sambil menatap Vincent dan Romero, menunggu Vincent menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Aness. Vincent menghela napas panjang, mengusap kedua wajahnya dengan gusar.
"Semuanya berawal saat ulang tahunnya yang kedua puluh satu," ucap Vincent memulai penjelasannya.
***TheUnknownPrincess***
Tepat saat usia Aness yang kedua puluh satu, Vincent dan Romero ingin memberikan kejutan tepat pukul dua belas malam. Namun, mereka berdua tidak menemukan Aness di kamarnya. Selimut putihnya tergeletak di lantai, seperti pemiliknya pergi dengan terburu-buru.
Menghela napas pasrah, Vincent dan Romero memutuskan untuk kembali ke kamar mereka masing-masing. Malam itu mereka berdua masih berpikiran positif, mereka mengira Aness sedang berburu. Namun, Romero merasa kesal. Perempuan itu tidak mengajaknya ikut berburu.
Paginya, kedua pemuda itu kembali ke kamar Aness. Senyum mengembang di wajah pucat mereka saat melihat tubuh Aness yang semuanya terbungkus selimut. Vincent yang kedua tangannya kosong menyibak selimut Aness. Namun, matanya langsung terbelalak saat dirinya malah melihat darah yang mengotori seprai putihnya. Seperti seprai putihnya berganti warna menjadi merah. Darah juga mengotori hampir seluruh bagian depan pakaian dan beberapa bagian tubuh Aness.
Romero yang melihat itu langsung meletakkan kue keju ke meja terdekatnya, tidak lagi mempedulikan seberapa susahnya membuat kue keju favorit Aness. Romero mengendus, memastikan warna merah yang dilihatnya adalah darah.
Ternyata memang darah, dan baunya sangat menyengat, seperti ruangan Aness memiliki pengharum ruangan dengan bau metalik itu.
Vincent langsung membangunkan Aness. Tak lama, mata hijau itu terbuka sempurna sebelumnya sempat mengerjap beberapa kali. Aness langsung memegangi kepalanya yang terasa pusing setelah dirinya mengambil posisi duduk, sepertinya ia belum menyadari darah itu.
"Kepalaku pusing," gumamnya yang masih bisa didengar kedua pemuda itu.
Aness memijat batang hidungnya, berharap pusingnya akan menghilang karena tindakannya itu. "Kau kemana semalam?" Tanya Vincent.
Aness mendongakkannya kepalanya yang tadi tertunduk, menatap Vincent dengan ekspresi bingung. "Aku di kamar," jawabnya.
Romero menggeleng. "Semalam kau tidak di kamar," sangkalnya.
Aness balas menggeleng. "Aku di kamar," ucapnya meyakinkan.
Vincent mendesah. "Kau tidak di kamar, Vanessia," Vincent mengucapkannya dengan nada yang penuh kesabaran, seperti dirinya sedang berbicara dengan anak kecil. "Jika kau di kamar, bisa kau jelaskan dari mana datangnya darah itu?" Vincent menunjuk ranjang Aness yang dilumuri darah dengan dagunya.
Tepat saat mata Aness tertuju pada ranjangnya, kaki Aness langsung melompat ke lantai. Wajah pucatnya menatap horror ke arah ranjangnya lalu beralih pada kedua pemuda itu. "Aku tidak melakukannya," jawabnya suaranya tidak yakin.
"Aku tidak ingat." lirihnya.
***TheUnknownPrincess***
Semua yang ada di ruang kerja Max mencoba mencerna ucapan Vincent. Tidak mengerti dengan apa yang diceritakan oleh mantan kepala pasukan itu. Vincent mendesah, lagi. "Sejak saat itu, Aness bertingkah beda saat ada yang mencoba mengusik ketenangannya," ujarnya. "Atau saat dirinya merasa terancam,"
Vincent menoleh pada Romero. "Kau ingat Sebastian?"
Romero mengangguk.
Sebastian adalah vampire yang tergila-gila pada Aness. Setiap hari, pria itu selalu memberikan Aness kejutan tak terduga. Hadiah yang sama sekali tidak ada manfaatnya bagi Aness. Memberi cendera mata yang didapatkannya dari berbagai negara pada Aness. Perhiasan mewah, hingga kendaraan mahal pada zaman itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unknown Princess (On Hold)
VampirPutri dari kerajaan vampire yang memegang tinggi kekuasaan dari kerajaan vampire lainnya. Hidupnya yang bahagia sekejap berubah menjadi tragis saat dirinya disalahkan atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Dicibir... Dipandang ji...