Chapter 05 || Tired ||

546 49 1
                                    


Aness memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Jalanan yang hanya di kelilingi hutan belantara membuat Aness memutuskan untuk berburu. Matahari yang menyilaukan mata sudah menghilang, digantikan dengan cahaya bulan yang terlihat indah dari bawah. Langit terlihat bersahabat, terbukti dengan banyaknya bintang yang bertaburan.

Dihirupnya udara dalam-dalam sambil memejamkan matanya setelah Aness keluar dari mobil. Aroma hutan yang khas membuat Aness betah berada di sini. Suara hewan malam tidak membuat Aness merasa terganggu.

Mata Aness terbuka saat hidungnya mencium seekor kijang yang berasal dari dalam hutan. Mata hijaunya berubah menjadi merah, menyala dalam kegelapan ketika dirinya bisa merasakan aliran darah pada hewan itu.

Aness membiarkan instingnya yang melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Insting berburunya seketika bekerja dengan baik ketika kakinya melesat menuju sumber makanannya. Aness berhenti di belakang pohon yang letaknya tak jauh dari kijang itu berlutut, meminum air dengan tenang tanpa menyadari jika ada predator yang sedang mengintainya. Taring-taring panjang yang tersembunyi langsung mencuat dari gusinya. Mata Aness semakin nyalang melihat kijang itu yang masih asik menikmati air jernih yang mengalir dari bibir sungai.

Aness ingat, terakhir dirinya meminum darah adalah satu minggu yang lalu. Aness meminum darah donor yang dibeli Vincent di rumah sakit. Itu juga hanya terbatas. Meminum darah manusia dari sumbernya langsung? Bukan tipe Aness. Kecuali jika memang sedang dalam keadaan terdesak dan dirinya sudah sangat lapar.

Aness bisa saja menggunakan hipnotisnya pada manusia biasa, tapi Aness sudah lama tidak melakukan itu. Lagipula, sejak dulu Vincent selalu mengajari Aness meminum darah dari gelas, bukan secara langsung. Hal itu supaya Aness tidak berlebihan mengkonsumsi darah. Sejak tinggal dengan Vincent, Aness diajarkan untuk berburu hewan dan dijadikan makanannya. Sampai saat ini, darah kijang adalah favorit Aness.

Kaki jenjang Aness sudah bersiap pada posisinya. Ia sudah siap untuk menyerang kijang itu dalam kedipan mata. Hembusan angin tiba-tiba Aness rasakan, berdesir melewatinya. Tepat saat itu juga, kijang incaran Aness kabur begitu saja karena merasakan ancaman.

"Sial!" Umpatnya begitu tahu siapa dalang yang membuat buruannya pergi.

Pria dengan mata coklat yang warnanya serasi dengan rambut gondrong, berdiri dengan santainya. Tangannya bersedekap di dada dengan kaki yang ia silangkan, dan punggungnya menyender di pohon.

Aness memperhatikan pakaian pria itu. Jika tadi siang pria itu terlihat seperti tukang pukul, malam ini pria itu terlihat seperti anggota geng motor. Dengan jaket kulit berwarna hitam yang membalut kaos putihnya, celana jins yang bolong di kedua lututnya. Ditambah boots hitam di kakinya.

Rasa lapar Aness lenyap begitu saja saat melihat pria itu. Nafsu makannya menghilang bersama dengan perginya kijang incaran Aness. Menghiraukan pria itu, Aness melenggang pergi begitu saja. Pria itu berdecak kesal karena merasa diabaikan oleh Aness.

Dengan cepat, pria itu melesat, menghalangi jalan Aness di depannya. Aness hanya memandang pria itu dengan tatapan datarnya.

"Apa yang kau inginkan?" Tanya Aness dengan dingin.

Suasana hati Aness sedang tidak bagus. Mulai dari kekesalannya dengan Vincent, kepergian kijang buruannya, ditambah pria gondrong yang tidak Aness kenal sama sekali. Pria itu tersenyum seakan menunggu Aness untuk bertanya seperti itu. Namun, Aness tahu itu bukan senyuman tulus untuknya.

"Membawamu pada Ratuku," ucapnya santai.

Ingin rasanya Aness menanyakan siapa ratu pria itu, tapi diurungkannya niat itu. "Bukan urusanku," Aness berjalan dengan santai dengan memotong jalan melalui celah kosong yang ada di samping pria itu. Lagi, pria itu berdecak kesal.

Dengan cepat, pria itu mencekal lengan Aness, membuat perempuan berambut coklat gelap itu berhenti berjalan, menatap pria itu dengan tatapan biasanya.

"Jika kau tidak menurut, aku akan menggunakan cara kasar," ujarnya. Jika saja Ratunya melarangnya untuk menyakiti Aness, ia pasti akan langsung menggunakan cara kasar.

Aness tidak menjawabnya. Matanya melirik cekalan tangan kekar pria itu di lengannya. Aness tahu jika dirinya saat ini tidak akan mampu melawan pria itu. Aness kekurangan kekuatan. Tidak meminum darah selama seminggu membuat dirinya tidak sekuat vampire gondrong itu. Aness jauh lebih lemah darinya saat ini.

Ingin melesat, tapi Aness tahu jika dirinya pasti akan dengan mudahnya tertangkap oleh pria itu. Aness mengangguk menyetujui, ia akan mencoba untuk mengikuti apa yang dikatakan pria itu dulu. Jika ada celah, Aness akan memanfaatkan keadaan untuk kabur.

Pria itu tersenyum penuh kemenangan, merasa tugasnya tidak sesulit seperti yang ia bayangkan. Membawa Putri satu-satunya penerus kerajaan Valletta kepada Ratunya. Namun, belum sempat pria itu membawa Aness pergi, seseorang tiba-tiba menerjang pria itu dari belakang. Aness yang masih berada dalam cekalannya ikut terjatuh dan terguling beberapa kali di tanah.

Aness hanya bisa pasrah dan merutuki siapapun yang telah membuatnya terjatuh dengan tidak etisnya. Aness berdiri setelah berhasil menyeimbangkan tubuhnya. Perempuan itu mendengus kesal saat tahu siapa yang membuatnya terjatuh. Pria dengan celana jins hitam dan kemeja kotak-kotak berdiri membelakanginya, kedua tangannya digunakan untuk mengunci tangan pria itu agar tidak bergerak.

Pria kemeja kotak-kotak itu menoleh ke arah Aness, menyengir dan menampilkan gigi-giginya yang putih. "Maaf, salahku," ujarnya dengan wajah yang dibuat lugu.

Aness tidak menanggapinya. Ia hanya menghampiri kedua pria itu. Dua pria yang sama-sama membuatnya kesal.

"Setidaknya bilang dulu jika ingin muncul," Aness berdecak dengan kesal. "Romero sialan," gumamnya sambil mengutuk dengan kata-kata kasar. Saat ini tubuhnya sedang lemah, dan pria itu seenaknya membuat Aness terjatuh hingga terguling-guling.

"Siapa yang menyuruhmu?" Tanya Romero lalu mengangkat pria itu, membantingnya ke arah pohon yang ada di dekatnya.

Belum sempat pria itu bangkit, Romero sudah mencekal leher pria itu dengan satu tangan, membuat kaki pria itu tidak menapak tanah. Pria itu malah tertawa dengan napas yang tersenggal-senggal. Melihat itu, Romero semakin geram. Dihantamkannya kepala itu berkali-kali, membuat mata pria itu mengerjap beberapa kali.

"Ratu Lucy," ucapnya dengan tersenggal.

Tanpa diduga, pria itu mengarahkan lututnya pada dagu Romero, membuat Romero terhuyung ke belakang karena tidak siap. Kesempatan itu dimanfaatkan dengan baik untuk kabur oleh pria itu. Secepat angin, pria itu menghilang. Meninggalkan Romero dan Aness bersama pertanyaannya.

"Siapa Ratu Lucy?" Gumam Aness yang masih bisa didengar jelas oleh Romero.

***TheUnknownPrincess***

Aness langsung membaringkan tubuhnya di ranjang setelah ia sampai di rumah. Matanya memandang ke langit-langit kamar yang sebenarnya tidak menarik sama sekali untuk dilihat. Saat ini, hanya satu nama yang ada di kepalanya. Lucy. Siapa Lucy? Apa yang membuat Lucy tertarik pada Aness.

Aness tidak habis pikir. Apa yang membuat dirinya sangat diinginkan oleh Lucy. Aness hanyalah seorang Putri yang dibuang, yang terasingkan. Putri yang bahkan tidak diketahui keberadaannya. Jika Lucy menginginkan nyawa Aness, ia dengan senang hati akan menyerahkan hidupnya untuk Lucy.

Rasanya semua yang ada di hidup Aness hanyalah sebuah luka. Aness selalu bertanya, kenapa lukanya tidak pernah bisa menghilang? Setiap hari Aness selalu berusaha melupakan apa yang seharusnya ia lupakan, tapi tidak bisa. Rasanya seperti lukanya tidak ingin pergi darinya.

Ingin rasanya Aness bunuh diri dengan cara membakar dirinya di bawah sinar matahari, tapi Aness tidak bisa. Terlahir sebagai vampire murni membuat Aness bisa bertahan dari sinar matahari. Aness sudah sangat lelah hari ini. Masalah yang datang seharian ini sangat menguras otaknya. Tanpa Aness sadari, matanya perlahan terpejam.    


***TheUnknownPrincess***


Remember to

Vote

and

Comment

The Unknown Princess (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang