Chapter 11 || The Warm Hug ||

703 45 1
                                    

Warning! Typo's everywhere...

***

Rosetta bersama beberapa pengawal dan pelayan berjalan menuju aula saat dirinya mendapatkan informasi yang menurutnya penting. Salah satu pengawal mengatakan jika dirinya melihat seorang perempuan yang tidak pernah dilihatnya berada di rumah sakit.

Jika memang benar informasi itu, aula adalah tempat yang menghubungkan kastil dengan rumah sakit. Langkah Rosetta berhenti begitu dirinya mendapati seorang perempuan dengan tudung jaket yang menutupi kepalanya, berdiri di depannya dalam himpitan dua pria berambut hitam dan pirang.

Kaki Rosetta berjalan menghampiri perempuan itu dengan wajah yang bercucuran air mata. Insting seorang ibu mengatakan jika perempuan yang ada di depannya adalah anaknya.

"Emmy," panggilnya. Suaranya lirih dengan isakan tangisnya.

Saat tangannya ingin memeluk perempuan itu, suara dingin dan penuh ketegasan menghentikan tindakan yang ingin dilakukan Ratu kerajaan Valletta itu.

"Jangan sentuh aku!"

Tubuh Rosetta membeku seketika. Air matanya semakin banyak yang tumpah. Max yang melihat tubuh istrinya goyah langsung menghampirinya. Menangkap istrinya sebelum terjatuh ke lantai.

Aula yang luas itu sudah mulai sesak. Sepertinya semua penghuni kastil berkumpul di aula, menyaksikan sesuatu yang mengingatkan mereka dengan kejadian seratus tahun yang lalu.

Berdiri di pinggir aula, menyaksikan perempuan yang berdiri di tengah mereka. Namun, kali ini yang menangis adalah Ratu mereka. Bukan gadis kecil yang mungkin sudah menjelma menjadi perempuan cantik. Perempuan yang sedang berdiri membelakangi mereka.

Max memeluk istrinya yang sampai sekarang masih menangis. "Apa yang kau katakan? Dia adalah ibumu,"

Aness tertawa getir mendengar apa yang baru saja diucapkan ayahnya. Tawa sinis yang membuat aura di sekitar Aness menghitam.

"Ibu?" Tanya Aness lalu melepaskan gandengan tangannya dengan Romero dan Vincent. Aness memutar tubuhnya, menatap orangtuanya dengan tatapan datar dan dinginnya. Romero dan Vincent ikut memutar tubuhnya.

"Bukankah kau malu memiliki anak sepertiku?" Pertanyaan Aness malah semakin membuat Rosetta terisak. Seakan tertohok dengan ucapan Aness.

Rosetta menyesal.

Rosetta menyesal telah mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya ia katakan. Kata-kata yang masih jelas diingat oleh dirinya sendiri. Rosetta merasakan jika dirinya telah gagal menjadi seorang ibu. Tidak mempercayai putrinya, mengusir darah dagingnya sendiri.

Sama halnya dengan Max. Raja dari kerajaan Valletta itu tidak bisa berkutik. Ucapan yang diucapkan putrinya itu benar-benar membuat dirinya bagaikan ditusuk ratusan kali oleh pedang perak.

Suasana aula seketika mendadak sepi. Hanya terdengar isakan tangis dengan deruan napas yang tercekat.

"Bukankah seorang ibu harus mempercayai anaknya?" Aness maju beberapa langkah menghampiri orangtuanya. "Jawab aku," ucap Aness pelan setelah kedua orangtuanya hanya terdiam, tidak menjawab pertanyaannya.

Semua yang ada di aula bisa mendengar jelas apa yang Aness katakan. Walaupun suaranya pelan, mereka bisa mendengarnya dengan jelas. Hati Max teriris melihat luka yang terpancar jelas di mata putrinya. Biarpun Aness menutupi dengan ekspresi datarnya, Max bisa melihat luka itu.

Max juga merasa gagal menjadi seorang ayah. Peran ayah yang seharusnya melindungi puterinya, dan itu tidak bisa dilakukannya dengan baik. Figur seorang ayah yang seharusnya tidak membiarkan puterinya terluka tidak bisa dicapai saat dirinya yang justru membuat Aness terluka.

The Unknown Princess (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang