Play the mulmed while you reading this chappie, please.
Biar lebih greget.
Tapi buat barisan sayang kuota... itu lagu di mulmed judulnya my immortal. Cocok tuh lagu kayaknya buat Chapter ini...***
Brie meringkuk di posisi tidurnya. Dia sembunyikan wajahnya untuk menangis lagi dan lagi. Dia malu sekali menjadi seorang gadis lemah dan merepotkan. Semua orang bersatu padu untuk memulihkan Brie, padahal Brie tidak mau pulih. Dia mau mati.
"Brie." Suara terasa sangat familiar. Sentuhan hangat dari pemilik tangan itu sudah sangat dia rindukan. "Maafkan Mom baru datang sekarang. Mom dan Dad ada disini untukmu. Kita tidak akan marah denganmu lagi. Kita akan selalu ada untukmu. Maafkan Mom dan Dad..." suara itu terhenti dan terdengar suara isakan disana.
Tangis Brie semakin menjadi. Dia sungguh merindukan orangtuanya. Dia ingin menghamburkan diri dalam pelukan hangat mereka, dia ingin bangkit dan menyerap kekuatan mereka. Tapi Brie malu dengan kondisinya. Dia malu karena sudah menjadi anak yang gagal. Sudah berapa kali dia mempermalukan orangtuanya?
Dia benar-benar anak durhaka.
Harusnya dia yang meminta maaf, bukan sebaliknya. Brie yang membuat kekacauan ini."Brie..." Tangan lain mulai mengelus lengan Brie. Dan air mata Brie semakin deras turun, "Kau anak Dad yang paling Dad sayangi. Kau anak satu-satunya yang Dad punya. Jangan seperti ini, sayang. Tolong..."
Ayahnya belum pernah terdengar serapuh ini. Ayahnya yang selalu membentak dia karena tingkah nakalnya dulu kini bersimbah air mata di depan Brie. Apa yang sudah dia lakukan pada orangtuanya? Dapatkah waktu terulang, dia ingin mengembalikan masa muda dia yang hancur. Dia ingin membuat orangtuanya bangga bukan kesusahan seperti ini.
"Brie, please... bicaralah. Tolong. Dad dan Mom sudah datang."
Brie tetap pada posisinya. Dia belum siap untuk bertemu mereka. Brie takut, dia akan kembali mengecewakan.
"Brie. Dad janji akan mengabulkan semua permohonanmu. Tapi kau bicaralah. Kau bahkan tidak makan."
Reaksi Brie tetap sama. Tapi tangis dia semakin deras turun. Tidak terdengar apapun setelahnya, mungkin mereka letih karena usaha mereka selalu gagal. Orangtua, Emily, Liam, paman dan bibinya, bahkan Niall dan Louis, semuanya diajak untuk ke ruangan Brie agar Brie pulih dari apa yang mereka sebut itu... mayat hidup. Miris sekali, Brie belum mati tapi sudah disebut mayat.
Perlahan Brie membuka matanya dan melihat ke sekeliling. Dia melirik jam kecil di atas nakas yang memperlihatkan kalau sekarang sudah pukul tiga pagi. Mom sedang tidur di samping tempat tidurnya, sedang Dad tidur dengan posisi duduk di sofa kamar.
Brie mengangkat tangan dan membelai rambut ibunya. "I'm so sorry." katanya masih dengan suara sangat parau.
Dia meringis ketika melepas selang infus yang beberapa hari ini terpasang di pergelangan tangannya. Brie perlahan mulai turun dari tempat tidur. Dia menahan perih merasakan lantai kamar yang sangat dingin.
Karena sudah beberapa lama tidak menggunakan fungsi kakinya dengan baik, Brie terjatuh saat baru mulai melangkah. Tapi dia tetap berusaha untuk bangkit dan kembali berjalan walaupun sangat pelan. Kepalanya pun agak pusing karena selama beberapa hari ini dia terus terlentang di tempat tidur belum lagi tidak ada asupan makanan apapun yang dia telan, itu semakin melemahkan otot-otot pada tubuhnya.
Brie membuka lemari pakaiannya dan menemukan apa yang dia cari. Tabung obat penenang yang dia bawa ke London tapi tak pernah sekalipun dia minum, bahkan obat itu dia tinggalkan di rumah Emily saat dia pindah ke apartemen. Sekarang waktunya dia menghabiskan obat itu... dia butuh ketenangan yang benar-benar sunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Devil Meets The Angels
FanfictionIt's about Harry who is being so unforgivable jerks and love to bully everyone around him. And that is why he met the angels. One is the one who always rescue Harry's victims and the other one is Harry's doll to make the other one can look at him as...