Sorrow

100 6 0
                                    

Alexa
Dering telepon menjerit entah sejak pukul berapa, tetapi yang terakhir ini sanggup membangunkanku. Kusipitkan mata melihat layar ponsel yang terang menusuk pandangan, meletakkan ke sprei begitu melihat siapa yang menelepon. Masih pukul delapan pagi dan sudah ada sepuluh missed call dari Ratih.


Selepas salat Subuh, aku sengaja tidur lagi. Dalam arti, menghindari sarapan bareng Papa dan Arya. Kuberi Arya waktu bicara berdua Papa. Papa pasti terkejut mendengar kabar kepergian Arya. Bisa jadi Papa melarang atau Arya batal pergi karena tidak tega melihat kepedihan di mata Papa. Biarlah Arya memutuskan tanpa intervensiku.


Ponselku kembali menjerit. Kuangkat. "Ratih sayang, syutingnya masih habis Zuhur. Sebentar lagi aku mandi," sahutku serak.


"Mbak Alexa baca twitter! Sekarang aku ke rumah." Suara Ratih yang setengah menyeru itu mengubah posisi tubuhku yang semula malas-malasan di atas kasur menjadi duduk. Ada apa, sih?


Aku terbelalak melihat beberapa mention yang masuk. Menanyakan keadaan Juna. Juna kecelakaan?


Tergesa kuhubungi ponsel Juna namun tidak diangkat. Asisten Juna, Ruly juga tidak dapat dihubungi. Panik, aku bergegas mandi. Setidaknya ketika Ratih tiba aku sudah siap.


Sesaat aku lupa masalah Arya. Pikiranku tersedot sepenuhnya kepada Juna. Meski cintaku ke Juna tidak sebesar ke Arya, tetapi aku sayang padanya, mengkhawatirkan keadaannya.


Selesai merapikan diri, aku menghubungi Ratih. Ratih tidak mau cerita di telepon dan malah memintaku menonton televisi atau membuka portal berita internet. Tetapi tidak kulakukan. Aku ingin mendengar sendiri kejadiannya melalui mulut Juna, Ruly, ataupun Ratih. Aku ini bukan orang lain.


Tak sabar, aku keluar kamar. Sudah pukul sembilan dan seharusnya Arya sudah pergi ke kantor. Benar saja, di ruang makan aku hanya menemui Usman yang sedang merapikan bekas makanan Papa. Berarti Arya barusan pergi.


"Mas Arya sudah pergi?" tanyaku berbasa-basi.


"Baru saja, Mbak. Bapak juga masih di teras depan selepas mengantar Mas Arya," jawab Usman. Aku manggut-manggut. Masalah Juna membuatku gugup. Padahal semalam aku berniat menanyakan pada Usman perihal air muka Papa dan Arya. Kubatalkan niat demi mengurus yang lebih penting


"Usman, pagi ini kamu sempat nonton berita, tidak?" tanyaku lagi. Usman menggeleng. "memangnya kenapa, Mbak?" Dia malah balik bertanya.


"Emmm, tidak." Usai mengatakan aku bolak balik di depan meja makan. Menunggu Ratih lamanya seperti satu abad.


"Mbak Lexa nggak sarapan? Kalau mau, Usman minta Mbok Sarmi manasin nasi gudeg bawaan Mas Juna semalam." Ucapan Usman selanjutnya menghentikan langkah gugupku.


"Semalam Juna ke rumah?" ulangku meyakinkan.


Usman kembali mengangguk. "Itu barusan Bapak dan Mas Arya sarapan gudeg."


Kurogoh ponsel dari saku celana jeans, duduk di kursi makan, lalu membuka ponsel sekiranya ada pesan atau missed call dari Juna. Benar. Ada delapan panggilan tak terjawab semalam dan dua pesan pada jam yang sama. Menjelang pukul sepuluh malam. Jantungku berdebar tak karuan. Kucoba berpikir positif namun tidak berhasil. Seakan mata Juna menatapku tajam sambil menudingkan telunjuk. Inikah rasa bersalah?


Lima belas menit kemudian Ratih datang dan menceritakan bahwa semalam Juna terlibat kecelakaan tunggal dengan menabrak pagar pembatas bahu jalan. Tidak ada kesan teler akibat alkohol ataupun narkoba.


"Mas Juna masuk IGD. Ruly mengatakan padaku Mas Juna baik-baik saja dan Mbak Lexa nggak perlu khawatir. Mas Juna pesan agar tetap syuting seperti biasa." Dahiku mengerut. Mana mungkin aku bisa konsentrasi sebelum melihat keadaannya.

No One, But YouWhere stories live. Discover now