Processing

64 5 0
                                    

Arya
Kepul kopi panas yang baru keluar dari mesin pembuat kopi menyapa indera penciumanku. Rasanya selalu nagih, sampai kadang lupa berapa cangkir kopi yang kuhabiskan dalam satu hari. Sampai sekarang aku belum tahu penyebab adiksi ini. Entah karena rasanya yang juara. Entah karena rasa berat di kepala tiap menjelang sore yang nyatanya lekas hilang usai minum kopi. Entah karena sulit memejamkan mata. Entah karena butuh energi lebih agar tidak melamun menatap langit-langit kamar yang mengilusikan wajah Alexa. Entahlah. Yang pasti aku butuh kopi melebihi kebutuhan makanku. Sehingga bobot tubuhku merosot drastis. Kusadari dari celana jeans yang longgar.
“Hei, jangan melamun. Mana kopinya?” Rena, rekan kerjaku, mahasiswi Indonesia yang kerja part time di kedai kopi ini, menegur seraya memasang senyum yang memperlihatkan gigi kelinci, mengerutkan hidung bangirnya meledekku. Hal yang kerap dia lakukan sejak kami berkenalan di kedai kopi ini.
Rena gadis yang ramah dan menyenangkan. Dia yang paling senang memaksaku dan Austen tertawa. Rena bilang jangan memandang hidup terlalu serius, bisa mati muda.
Aku yang semula tidak menganggap keberadaannya dan berpikir Rena sekadar anak baru gede yang narsis dan sok akrab, berpikir sebaliknya. Rena penyemarak suasana. Selalu menebar aura positif di tengah pekerja-pekerja berwajah kaku. Belum pernah, satu haripun, sejak mengenalnya, kulihat Rena bersedih hati. Dia selalu menebar senyum dan menyemangati. Sehingga, William, pemilih kedai ini, tak peduli meski kadang Rena absen karena tugas kuliah.
Rena yang berotak encer masuk ke fakultas kedokteran Universitas Griffith melalui program beasiswa. Karena itu Rena bekerja serabutan seperti aku dan Austen demi biaya hidup dan mengirim uang ke keluarganya di Jakarta. Rena sebenarnya tidak tega meninggalkan Ibu dan adiknya. Tetapi Ibunya terus mendorong dan menyemangati. Cerita Rena membuatku bersimpati padanya. Sekaligus membuat Austen jatuh cinta. Hanya saja Austen tidak percaya diri berterus terang.
“Hati-hati, pria tambun itu suka padamu,” ledekku ketika Rena bersiap mengantar pesanan. Dua caramel machiato dan dua pie karamel. Rena menjulurkan lidah.
“Nanti kuceritakan soal mereka,” katanya sambil melenggang meninggalkanku.
“What do they talk about?” Austen rupanya terusik. Dia menatap Rena dan dua pelanggan di depan dengan mimik cemburu.
“Tell her about your own rules. Rena serve only for woman. Then, you do the rest,” ledekku kemudian. Austen mengumpat sambil lalu meletakkan cangkir berisi hot choccolate dan espresso pesanan dua perempuan berambut blonde di dekat jendela.
Rena kembali dengan bersiul-siul. Dia lalu berbisik padaku, “kamu tahu kenapa aku tidak khawatir? Kedua pria itu... pasangan gay.” Rena lalu tertawa geli. “Itu sebabnya pesanan mereka selalu sama.” Aku ikut tergelak bersamanya.
“Something funny?” Austen mendekat dan memandang kami curiga. Rena berhenti tertawa lalu mengerdip satu mata padaku, “Jangan beritahu dia, oke.” Austen yang tidak mengerti bahasa indonesia protes. Namun Rena seperti sengaja meledeknya. Austen makin uring-uringan.
Begitulah dunia kerjaku di kedai ini. Penuh tawa dengan keberadaan Rena yang ceria dan Austen yang pengecut tetapi posesif. Tetapi setelah pulang, malam kembali suram. Aku yang insomnia, memilih bekerja sebagai pembersih sampah di pesisir pantai dengan pria-pria berwajah keras, yang tidak banyak tertawa, dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan minum alkohol demi menghangatkan tubuh dalam balutan musim dingin. Tetapi aku tidak punya pilihan, daripada sulit tidur lebih baik menghasilkan uang.
Malam ini terasa lebih dingin paska hujan turun. Angin turut menggulung ombak lebih tinggi. Menggunakan mobil patrol, mataku menyisir bibir pantai Coolongata. Tidak seperti di Indonesia, meski daerah turis, tidak banyak sampah menumpuk. Kesadaran membuang sampah pada tempatnya meringankan tugasku.
Beberapa burung camar putih berkumpul dan langsung berserak terbang begitu mobil patrol melewatinya. Aku memperlambat laju mobil patrol memperhatikan sepasang muda mudi yang sedang bertengkar di bibir pantai. Sang wanita bicara keras seraya menuding wajah sang pria yang hanya diam tidak membalas.  Bibirku menyeringai tipis teringat Alexa yang kadang bicara meledak seperti wanita itu. Mungkin, jika itu kami, aku akan melakukan hal sama. Semarah apapun wanita, mereka hanya butuh didengarkan.
*
Juna
Ruly membawa sebundel naskah skenario Film Sunshine ke hadapan gue. Kemudian minta beberapa berkas demi kepentingan pembuatan visa.
“Besok ketemuan dengan Bang Anwar dan Bustomi di RR. Mbak Terry bilang, Mas Juna harus cepat menguasai naskah sebab proses reading dilakukan di Indonesia,” tukas Ruly sambil menyusun berkas yang barusan kuberi padanya.
“Elo ikut ke Aussie?” tanya gue. Ruly nyengir. “Maunya, sih, gitu, bos.”
“Ntar gue bilang ke Terry. Kalau RR keberatan, gue yang bayarin,” kata gue enteng. Gue pasti butuh Ruly di sana untuk urus ini-itu. Bisa jadi tameng gue juga dalam menghadapi Mama. Kalau ada Ruly, Mama nggak bisa seenaknya ke gue, Mama pasti sungkan. Mengingat sifat Mama yang suka jaga image bila ke orang lain.
“Serius, bos?” Bola mata Ruly melebar. Wajahnya ikutan berseri.
“Serius. Lo siapin berkas seperti yang lo minta ke gue. Bilang Terry gue butuh asisten.”
Ruly makin semangat membereskan berkas. “Gue pengin banget lihat Opera House dan Harbour Bridge yang terkenal itu, Mas,” ujar Ruly terus terang. Matanya nampak berkilat-kilat. “Gue juga pengin lihat salju.”
Gue tergelak. “Di Sydney nggak ada salju walau musim dingin.”
Ruly melongo garuk-garuk kepala.
“Yaudah sana, buruan, sebelum Terry banyak kerjaan. Makin siang makin banyak yang dia urus,” saran gue. Jujur, hati gue terenyuh lihat sorot mata Ruly.
“Siap, bos. Gue jalan dulu.” Ruly membungkuk seraya mengayun tangan ke dada.
Sepeninggal Ruly, gue buka naskah yang terbundel rapi. Sambil menghapal dialog sambil menghayal adegan gue dan Alexa nanti. Gimana rasanya memeluk gadis itu kembali? Adegan demi adegan romantis berseliweran di kepala. Dada gue berdebar keras. Baru membayangkan saja adrenalin meletup-letup. Napas gue tersengal. Keringat sebulir-bulir jagung merintiki dahi. Gila. Sampai segininya gue ke Alexa. Gue mendadak kangen. Gue pengin betulan meluk Alexa. Gue craving. Gue adiksi. Gue... ah, sarap!
Bundel naskah gue lempar ke sofa. Gue gerah. Berdiri sambil stretching mungkin bisa bantu melempar bayangan liar barusan dari otak gue. Sambil memanjangkan tangan, badan gue meliuk kanan kiri, mengatur napas naik, turun, tahan. Tidak berhasil, otak gue makin memproyeksikan gambar Alexa. Gue ke kamar ambil tali untuk skipping. Berharap dengan loncat tali wajah Alexa keluar dari otak gue. Setengah jam, tetap tak berhasil. Hanya peluh dan lelah, namun seluruh sel otak gue masih merindukan dia. Ke mana endorfin? Apakah proyeksi kebahagiaan gue cuma Alexa?
Bingung. Mati gaya. Sumpek. Buntu. Nggak tahu harus bagaimana mengusir senyum Alexa yang kian lama kian lekat. Mungkin cara gue salah, dengan menghindar, bayangan Alexa semakin datang. Gue coba cara lain dengan membuka folder foto ponsel. Satu folder khusus foto Alexa. Dada gue bergemuruh lalu berdesir-desir, mendayu-dayu, parahnya makin merindu. Kembali gagal. Pantas tidak ada buku khusus menghadapi patah hati. Ini bukan ilmu pasti. Gue terlalu meremehkan.
Sambil masih memegang ponsel, gue coba cara lain, cara paling idiot, tapi tetap gue lakukan. Lincah jemari gue mengetik ‘bagaimana melupakan cinta’ di google. Sumpah kalau sampai Bagas, Desta, atau siapapun tahu gue browsing itu, gue bakal dicap banci, lebay, alay, jomdih (jomblo menyedihkan), atau copati (cowok patah hati). Napas gue naik turun. Dada gue kembali berdebar tidak sabar. Gue berharap dapat jawaban.
Tips Cara Melupakan Cinta. Tips dan Trik Melupakan Cinta Pertama. Cara Melupakan Cinta. Cara Mudah Melupakan Cinta. Tangan gue naik-turun di atas layar sentuh. Mencari yang paling pas untuk gue klik. Mata gue membulat. Ini dia. Cara Tercepat Melupakan Cinta Sejati. Kata kunci: cepat, melupakan, cinta sejati. Ini yang gue butuh.
Satu. Lakukan banyak hal sampai tidak ada waktu memikirkan dia. Sibukkan diri. Olah raga. Gue tertawa. Barusan gue lakukan dan hasilnya nihil.
Dua. Jalin hubungan dengan mantan sebelumnya. Membuka hubungan kembali dengan sosok yang pernah kamu cintai, sebab jika menjalin hubungan dengan orang baru, sulit move on dari mantan yang baru putus. Hah? Maksudnya? Gue harus menghubungi Desi, mantan pacar gue waktu SMP? Atau dekati Olivia lagi? Rasanya mustahil. Gokil.
Tiga. Terima kenyataan. Ambil waktu setengah jam dalam sehari mengenang dia. Kenang keburukannya. Saat dia menatap Anda marah. Saat dia mengomel. Saat dia ketahuan selingkuh. Dan lain-lain. Sehingga Anda akan merasa beruntung lepas darinya. Hati gue ngilu. Bukan begini. Gue hanya ingin melupakan Alexa sejenak, bukan membencinya. Haduh, bodohnya gue mencari hal-hal nggak penting begini.
Ketika hendak memijit kursor back, ekor mata gue tidak sengaja menangkap cara keempat: Dekati pemilik hatimu. Tuhan. Seketika ada sapuan aneh di hati gue. Gue batal pijit kursor back dan malah membaca kalimat lanjutan. Hanya Tuhan yang Maha membolakbalik hati manusia. Yang mengatur langkah hati selanjutnya. Dekatkan dirimu. Perbaiki ibadahmu. Tuhan akan memberi solusi. Jika dia jodohmu, tak akan lari. Jika bukan jodohmu, akan diberi ganti yang jauh lebih baik. Tuhan selalu membuatmu bahagia.
Anjuran ke empat lebih realistis. Gue teringat ketika Alexa minta diantar salat di Masjid beberapa hari lalu. Mungkin itu cara Alexa melupakan Arya. Gue tersenyum kecut. Masih dan akan selalu Arya.
*
Arya
Rena termenung di kursi kayu yang menghadap jajaran gedung tinggi. Kuhampiri sambil membawakan secangkir cokelat hangat dan roti cinnamon hazelnut. Kusapu bercak air paska hujan sebelum duduk di sebelah Rena.
“Lelah, ya,” kata Rena seraya merucutkan bibir. Aku tahu, Rena tidak ingin kami, kawan kerjanya tahu isi hatinya. Rena yang selalu positif tidak akan menampakkan ekspresi masam. Tetapi aku tahu, Rena memikirkan sesuatu.
Biasanya, aku tidak peduli gadis selain Alexa. Masalah apapun yang menimpa mereka, selagi mereka tidak berkeluh kesah, bukan urusanku.
Rena memiliki sesuatu yang aku tidak tahu apa, namun mampu mengusik sisi sensitifku. Saat dia, walau sesaat saja, melamun, aku kerap terusik. Menelisik. Mengamati gerak geriknya. Berharap dia menghampiri dan memberitahu sesuatu.
Kutahan diri demi tak menjadi bebannya. Kuikuti mau Rena yang selalu ingin terlihat ceria, tanpa beban, di hadapan kami. Tapi sore ini berbeda. Aku ingin bertanya penyebab mata itu menyipit sendu walau sepersekian detik.
“Mereka bilang, musim dingin dapat membuat orang jadi depresi,” kataku, tak menanggapi ucapan ‘lelah’ Rena sebelumnya.
Rena tertawa. Matanya sampai berair. Aku tidak sedang melucu. Tetapi aku ikut tertawa agar Rena tidak merasa sendiri. Biarlah dia menangis dalam tawanya atau tertawa dalam tangisnya. Apapun, aku ingin Rena melepas air mata tanpa takut terlihat bermasalah.
“Bahkan ada yang berupaya bunuh diri. Dingin. Beku. Membuat semangat mati,” imbuh Rena mendramatisir. Aku manggut-manggut sambil mengunyah sisa roti cinnamon.
“Makanya minum cokelat itu agar kamu nggak depresi,” tukasku kemudian. Rena menuruti.
“Mereka bilang, cokelat bisa menyembunyikan kesedihan. Menurutmu, bagaimana bisa?” Rena menatap cangkir cokelat seperti ingin menelannya.
“Lho, bukannya kamu yang mahasiswi kedokteran, harusnya kamu yang jawab,” kilahku, masih berusaha memancing kejujuran Rena.
Rena membuang napas keras. Kakinya dilonjorkan ke depan lalu diayun-ayun. Gesturnya yang seperti itu mengingatkanku pada Alexa. Kursi ini mirip kursi taman tempat aku dan Alexa bicara di teras belakang rumah Papa. Tapi suasana yang tercipta jelas berbeda. Irama jantungku riuh bila bersama Alexa, sementara dengan Rena, tiada rasa apapun selain empati ingin membantu.
“Ya. Cokelat murni tanpa gula dapat memicu keluarnya hormon endorfin yang dapat menciptakan rasa bahagia. Menekan si hormon stres kortisol. Tetapi hanya bertahan beberapa jam saja. Setelahnya, kortisol kembali dominan, kembali membuat stres.” Rena lalu tertawa dan matanya kembali berair.
Di tanganku jatuh tetesan air. Aku dan Rena sama mendongak. Hujan akan kembali turun. “Kita ke dalam,” ajakku sambil siap berdiri, namun Rena menahanku. “Aku suka gerimis.”
“Dingin,” tukasku. Rena menggeleng sambil tersenyum getir. Aku batal berdiri. Mungkin ini saatnya Rena bicara. Selama mengenalnya belum pernah Rena tersenyum serapuh itu.
“Sakit ibu tambah parah.” Aku yang hendak meneguk sisa cairan cokelat berhenti bergerak. Tanganku menggantung seraya melirik dia.
“Ibu tidak punya biaya ke sini dan aku tidak punya biaya pulang. Uang saku beasiswaku dalam setahun sudah kukirim ke Jakarta. Aku tidak tahu harus bagaimana?” Rena mendesah. Setitik air jatuh dari ujung matanya bersamaan tetesan air yang mulai menderas. Kuletakkan cangkir cokelat di bawah kaki dan kupeluk dia.
“Mungkin aku harus meninggalkan mimpiku. Menjaga Ibu lebih penting. Benar, kan?” Dialog Rena pada diri sendiri. Aku mengangguk tanpa suara. Bahu Rena kian mengguncang. Tangis pertama Rena yang mengguncang hatiku.
*
Alexa
Hujan turun deras. Air mataku ikut menderas. Aku merindukan Arya lebih dari sebelumnya. Seperti bulir air yang rindu jatuh ke bumi. Di mana Arya? Bagaimana keadaannya? Tanya itu menempati posisi teratas pikiran yang seharusnya kupakai menghapal naskah.
Dulu. Bila hujan deras, Arya akan membuatkan cokelat hangat alih-alih menjaga daya tahan tubuhku dari serangan dingin. Aku yang senang atas apa saja yang dia beri hanya menuruti. Bila hujan, Arya jadi banyak bicara. Bicara apa saja. Tentang sekolahnya, teman-temannya, tempat kerjanya, rekan-rekan kerjanya, gadis-gadis yang cari muka padanya, gadis-gadis yang benci padanya, kejadian-kejadian aneh di sekolah, jalanan, kantor, kemacetan, film yang sedang booming, apa saja, semua diceritakan hingga hujan reda dan kembali ke kamar masing-masing.
Kuseka sisa air mata. Biasanya, aku tidak suka hujan reda. Aku ingin hujan turun lebih lama agar dapat lama memandang wajah Arya. Kini, aku ingin hujan lekas berhenti, agar tak terus memikirkan Arya.
Kuraba dadaku yang mendadak ngilu. Kupijit sambil beristigfar. Berdasar buku yang kubaca cara melupakan seseorang, cara inilah yang kupilih. Mendekatkan diri pada Sang Khalik. Berharap Tuhan beri solusi.
Aku tidak memaksakan diri mengusir Arya dari hatiku. Kubiarkan pergi alami. Dari artikel yang kubaca, semakin menghindari, semakin rasa itu mengejar. Hindari sugesti negatif seperti kata ‘tidak boleh’ yang setelah diartikan otak menjadi ‘boleh’. Akan datang saat hati menerima seutuhnya. Iklas menerima ketentuan Tuhan.

No One, But YouWhere stories live. Discover now