Juna
Bagaimana bisa mereka bertengkar sementara gue dan Ruly tidur di rumah ini!
Gue ambil jaket lalu beringsut dari kasur. Sengaja gue lewat di depan Mama dan suaminya yang sedang perang mulut.
"Juna, mau ke mana?" Mama menahan bahu gue. Gue tatap Mama marah. Bagaimana bisa dia menjalani hidup seperti ini?
"Pinjam kunci mobil," kata gue dingin. Wayne beringsut meninggalkan ruang keluarga.
"Kamu lihat kelakuannya, kan? Dia tidak pernah menghargai Mama." Mama mulai menangis. Gue paling malas melihat yang seperti ini.
"Kunci," kata gue berusaha tidak menanggapi ucapannya.
"Kamu tidak kenal daerah sini. Aturan berkendara di sini berbeda dengan di Indonesia." Mama menggeleng.
"Nggak masalah aku ditangkap dari pada dengerin keributan ini."
"Itu sebabnya Mama mau cerai. Bantu Mama."
"Mama tidak perlu aku. Sejak dulu Mama memutuskan semua sendiri. Mama tidak pernah minta pendapatku. Kenapa sekarang harus?" tanya gue menghujam. Air mata Mama makin deras.
Wayne kembali muncul, melewati kami menuju meja samping sofa. Mengambil kunci mobil. Satu menit kemudian terdengar deru mobil meninggalkan rumah.
"Dia itu berengsek!" Mama menjerit.
"Arrrghhhh...." Tidak tahan gue menggeram. Terdengar decit pintu kamar. Mungkin Ruly terbangun. Tapi gue sedang dalam keadaan tidak memikirkan pendapat orang lain.
"Kalau tahu semua laki-laki berengsek, kenapa Mama menikahi mereka? Kenapa Mama tidak pilih mengurusku dan Oma? Kenapa, Ma?!" sentak gue marah. Beban yang terkunci di hati sejak puluhan tahun lalu akhirnya terlampiaskan.
Mama terhenyak tapi gue nggak peduli. Sudah saatnya Mama tahu semua ini.
"Kenapa Mama lebih memilih mengurus mereka dibanding darah daging Mama sendiri?" rengek gue tuntas. Gue berjongkok dan bersender di dinding koridor penghubung ruang keluarga dengan ruang makan.
"Juna, maafin Mama...." Mama ikut berjongkok mengelus rambut gue yang berantakan tapi gue tepis.
"Jadi sekarang, jangan salahkan Juna kalau Juna nggak peduli seperti apa hidup Mama. Bercerai atau menikah lagi, itu bukan urusanku." Gue remas kepala yang rasanya mau pecah ini. Tangan Mama lagi-lagi terulur hendak menyentuh pundak gue.
"Mama.... Tidak bisa bersamamu karena wajahmu mengingatkan Mama pada papamu." Ucapan Mama yang putus-putus dan gemetaran menyentak gue. Gue mendongak mendapati wajah Mama memerah berlumur air mata.
"Mama sangat mencintai papamu tapi dia berselingkuh dan bahagia dengan keluarga barunya. Mama juga harus melakukan hal sama." Mama kembali meraung. Isakannya memilukan hati gue.
"Jadi Papa masih hidup?" gue gemetaran. Meski telah menduga namun mendengar langsung rasanya berbeda. Mama mengangguk rapuh.
"Kenapa aku tidak ikut Papa?"
"Karena Mama berkeras mempertahankanmu. Mama menang hak asuh karena punya bukti papamu selingkuh."
"Kenapa Mama tidak menyerahkanku ke Papa?!" Seruku kemudian. Perasaan diabaikan sontak mengepung.
Mama tersentak menatap tak percaya.
"Jika Mama tidak mau mengurusku kenapa tidak menyerahkanku ke Papa? Biar aku merusak keluarga Papa? Biar aku tidak membenci Mama?"
"Juna....."
"Supaya aku tidak perlu menyusahkan Oma!" seru gue bertekanan.
"Satu-satunya orang yang sayang ke Juna hanya Oma!" teriak gue lagi.
Mama nampak semakin rapuh. Dia telungkupkan wajahnya ke lutut dan menangis sejadinya.
Malam itu, gue dan Mama tidak tidur. Wayne tidak pulang. Ruly terpaku di sisi pintu tanpa berani berbuat apa-apa.
*
Alexa
Sore sepulang bekerja dari Calais, Arya mengajakku ke Roma Street Park. Taman plus hutan kota buatan di pusat kota Brisbane seluas enam belas hektar ini seperti Oase di tengah hiruk pikuk perkotaan. Mataku dimanjakan dengan beragam bentuk bunga yang mendominasi musim dingin, danau yang indah, serta air terjun buatan. Gemerisik airnya mampu menenangkan pikiranku yang berserabut usai menerima pesan WA dari Ruly yang menceritakan kondisi Juna dan mamanya.
"Kenapa?" tanya Arya menyinggungku yang sejak tadi lebih banyak diam.
"Juna," lirihku jujur. Dari atas jembatan pinggir danau mataku mengikuti gerakan angsa yang hilir mudik.
"Juna?" intonasi Arya saat mengucap Juna terasa janggal. Kubalikkan badan menatapnya.
"Ruly bilang dia bertengkar dengan mamanya."
"Lex, orang tua beda pendapat dengan anaknya bukan hal aneh."
"Mas!" seruku tak setuju.
Arya mengangkat tangan. "Maaf, tapi, kita tidak bisa melakukan apa-apa. Juna dan mamanya akan keberatan kalau kita ikut campur."
Aku menghela napas berat. Arya benar. Itu memang bukan urusan kami. Hanya saja, aku berpikir ingin menghiburnya.
"Kamu ingin kuantar ke Rosewood?" Seperti mengerti jalan pikiranku Arya melunak.
Meski ingin, tak urung kugelengkan kepala. "Mas benar, itu bukan urusan kita."
"Mulai hari ini sampai lima hari ke depan, aku ingin kita tidak memikirkan hal lain, kecuali kita." Ucapan Arya selanjutnya mengejutkanku. Dia belum pernah seegois ini.
Aku tidak tahu harus menanggapi apa. Aku memilih diam dengan mata tak beranjak dari gerakan angsa.
Tangan Arya terulur menarik tanganku. Jantungku berdegub tidak karuan. Pandanganku mulai tidak fokus. Berlari antara sisi jembatan di seberang, tapak jalan, air mancur, dan angsa.
"Selama lima hari ini, aku ingin kita terus bergandengan seperti ini."
Aku ingin menarik tanganku namun Arya menahannya.
"Waktu kecil, kamu sering menggenggam tanganku seperti ini setiap jalan ke luar rumah." Arya menengadah. Bibirnya menyungging senyum.
"Mas..." Kerongkonganku tersumpal. Aku tidak ingin seperti ini. Bagaimanapun ini adalah bentuk pengkhianatan.
"Adik kakak melakukan ini, Lex. Kamu tidak perlu khawatir."
"Tap..."
Arya membalik badan menghadapku. Menggenggam erat kedua tanganku. "Aku hanya akan menggenggam tangan ini selama lima hari."
"Kenapa?" tak urung tanya itu terlontar juga.
Arya tersenyum tipis mengusap pipiku lembut.
"Sebelum aku pergi dan kita sulit bertemu lagi."
Jantungku mencelus. Tepat seperti dugaanku. "Mak... maksudnya, Mas akan menghilang lagi?" Intonasi suaraku meninggi. Aku tidak siap kehilangan jejaknya lagi. Lebih baik dia kembali bersama Winona. Aku masih dapat melihatnya.
Dia tertawa kecil. "Aku nggak mau adikku kecewa karena kakaknya menjadi pengecut."
Aku mengernyit, belum paham sepenuhnya.
Arya menangkup kedua tangannya di pipiku. "Aku akan pulang mengurus semuanya. Masalah Winona dan calon anak kami. Tapi aku merasa, itu tidak mudah. Karena itu aku tidak tahu kapan bisa menggenggam tanganmu lagi."
Aku menggeleng lemah, Arya tidak perlu melakukan itu. Yang perlu dia lakukan hanya kembali ke keluarganya.
Seolah mengerti Arya memejam seraya mengangguk kecil. "Kuralat. Setelah semua urusan selesai, aku akan mencarimu dan bertanya, bolehkah aku kembali menggenggam tangan ini?"
*
Arya
Aku tahu ini egois. Alexa mungkin terkejut mendapati sisiku yang seperti ini.
"Ini bukan waktunya bercanda, Mas." Alexa menarik tangannya gugup. Pandangannya kembali dilarikan ke barisan angsa yang bergerak bebas mengelilingi air mancur.
"Aku serius." Kembali kuraih tangannya. Alexa kembali menepis.
"Aku meninggalkan Winona bukan karena ingin bersamamu. Semua terjadi begitu saja. Kami tidak bisa bersama karena kami tidak sama." Sengaja kujelaskan sekelumit alasan agar dia mengerti. Aku tidak berdusta. Perpisahanku dengan Winona murni karena keadaan.
"Bagaimana dengan calon anak kalian," suara Alexa bergetar.
Kudekatkan diri hingga bahu kami bersinggungan. "Kamu kenal aku sejak kecil, Lex. Aku bukan orang yang lari dari tanggung jawab. Hanya saja, aku dan Winona tidak mungkin kembali bersama. Terlalu sulit buat kami."
"I iya, tap tapi kenapa, Mas?" Alexa kembali menatapku dengan kelopak mata bergetar.
"Maaf, Lex, aku tidak bisa memberitahu. Winona layak mendapat pria yang jauh lebih baik dariku." Bagaimanapun aku tidak berhak membuka aib Winona. Biarlah dia tetap menjadi perempuan baik di mata Alexa. Bagaimanapun kami hutang budi pada Winona.
"Tapi kalian belum bercerai."
"Aku sudah menjatuhkan talak melalui kuasa hukumku."
"Calon anak kalian?" lagi-lagi Alexa menyinggung hal itu. Aku maklum. Dia perempuan. Dia pasti berempati pada Winona yang sedang mengandung anakku.
"Aku akan rutin mendampingi Winona ke dokter kandungan hingga anak kami lahir. Dan kami akan mengatur strategi terbaik agar kelak calon anak kami tak terabaikan. Hanya itu."
"Tapi Mbak Winona tidak mau diceraikan," sanggah Alexa dengan mata berkaca.
"Aku akan tetap menceraikannya. Aku sudah menalaknya sejak tiga bulan lalu."
"Mas...."
"Tolong hargai keputusanku untuk tidak bersamanya."
*

ANDA SEDANG MEMBACA
No One, But You
RomanceSeharusnya Alexa bahagia. Impian menjadi rising star terwujud. Ditambah limpahan cinta Juna yang menjadikannya istimewa. Namun, hati Alexa tetap gersang, tanpa Arya di sisinya. Juna tahu dirinya menyedihkan. Mencintai wanita yang mencintai pria la...