Hubbub

73 4 0
                                    

Alexa


Sejak kejadian kecupan tiga hari lalu, hubunganku dan Juna kembali dingin. Nampak sekali Juna menghindariku. Untungnya, kami didesak jadwal syuting yang padat, sehingga kru dan pemain lain tidak punya waktu mengomentari soal aku dan Juna yang memasang jarak. Bahkan Olivia yang biasanya usil nampak tidak tertarik. Usai scene, kami, para pemain, menghabiskan waktu dengan menghapal naskah, makan, atau sekadar memejam beberapa saat di kursi malas.


Seperti yang kulakukan saat ini. Scene-ku baru berakhir. Naskah yang disodorkan Ratih kuletakan begitu saja di lantai. Kepalaku sesak. Kupilih rebah di kursi malas dan memejam.


Besok, bila sesuai rencana, aku akan menghilang sejenak ke Brisbane. Kepalaku dipenuhi beragam rencana serta dugaan, bagaimana reaksi Arya melihatku muncul tiba-tiba di kafe tempatnya bekerja. Kafe yang lokasinya telah dikonfirmasi Santi.


Aku juga berencana mencari rumah sakit terbaik di Brisbane. Mungkin ini berlebihan. Tetapi sungguh, aku ingin membantu keluarga Rena melewati masa menyedihkan itu. Meski hatiku juga diterjang penasaran hebat akan sosok Rena.


Aku jadi seperti seorang ibu yang penasaran dengan siapa anak lelakinya bergaul. Padahal, anak lelaki itu memiliki kehidupannya sendiri. Kugigit bibir ngilu. Seharusnya Winona yang melakukan ini.


Ingat Winona, hatiku kembali ngilu. Membayangkan reaksi Arya saat kuberitahu dia akan menjadi seorang ayah.


Air bening meleleh. Aku tidak akan pernah merasakan kebahagiaan itu sebab ovariumku telah diangkat. Tekadku mengembalikan Arya ke Winona makin dalam. Arya harus merasakan kebahagiaan menjadi ayah.


Detik ini juga aku merasa beruntung tidak menerima usulan Arya kawin lari saat itu. Denganku, Arya tidak akan pernah merasakan bahagianya menjadi orang tua.


*


Juna


Dia menutup kedua matanya dengan tangan yang dilentangkan. Namun dia melewatkan pikiran penampakan cairan bening yang melewati pipinya. Perlahan, gue geser kursi mendekati kursinya. Berharap, punggung gue dapat menutupi cairan bening itu agar tidak memicu tanya.


Sambi menghapal naskah sambil pikiran gue menerka pikiran dia.


Mungkin, kah, dia masih sedih dengan perlakuan gue yang ke luar batas? Atau terjadi sesuatu ke Arya?


Ratih nampak dari kejauhan. Gue lambaikan tangan sambil memberi kode agar Ratih tidak bersuara. Gue bangkit dan minta Ratih duduk di kursi gue. Alexa nggak boleh lihat gue begitu buka mata.


"Hibur dia, Tih," bisik gue sambil menunjuk sisa air mata yang melewati pipinya. Ratih mengangguk dan tersenyum miris ke gue.


Olivia muncul di belakang punggung ketika gue hendak ambil kopi. "Alexa kenapa, Jun?" tanya gadis itu sambil ikut menuang cairan hitam ke gelas karton.


"Kenapa gimana?" gue belagak pilon.


"Gue lihat dia nangis."


Gue nyaris tersedak cairan kopi. Olivia tersenyum miring. "Nggak usah sandiwara lagi, mentang-mentang aktor. Aku tahu, kok, kalian sudah putus."


Meski terkejut tetapi gue nggak membantah. Kali ini, gue pilih jujur.


"Begitulah. Tahu dari mana?" gue sesap cairan kopi yang masih panas.


"Intuisi." Olivia tersenyum kecil.


"Tadinya gue masih ngarep balikan," tukas gue jujur. Alis Olivia bertaut.


"Sekarang nggak. Gue harus realistis," lanjut gue lagi. Entah karena sesak yang mendera beberapa hari ini, tanpa Bagas yang biasanya mendengarkan keluh kesah, tanpa sadar gue curhat ke Olivia.

No One, But YouWhere stories live. Discover now